Politik
pada dasarnya adalah sarana,
bukan
tujuan". Aristoteles
Istilah
“gaduh” dalam perspektif kajian lingkungan hidup lebih bersinonim dengan
carut-marutnya pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan rimba yang tak
terkendali, eksplorasi sumberdaya alam yang melebihi batas atau dapat disebut
juga sebagai ketidak-profesionalan manusia dalam membaca tanda-tanda semesta.
Dan akibtanya bisa fatal. Banjir yang selalu menghampiri kita dari segala
penjuru serta tergerusnya stok sumberdaya alam. Sebab, ia merupakan bagian
yang tidak kalah penting dalam kehidupan.
Misalnya pada konferensi lingkungan hidup di Stockholm yang diselenggarakan oleh PBB (05-16 Jini 1972) dengan tema Only One Earth (satu bumi kita) menyodorkan enam topik pembahasan yakni pemukiman manusia, pengelolaan sumber daya alam, indentifikasi zat pencemaran, pembangunan dan lingkungan dan implikasi keorganisasian. Tentu dunia internasional memiliki tanggung jawab pada semesta yang semakin tak terkendali akibat dari hasil campur tangan manusia cenderung serakah. Inilah yang saya sebut sebagai kegaduhan lingkungan dalam kajian akademik.
Tetapi itu bagian lingkungan hidupnya, lain lagi dengan istilah “gaduh” pada diskursus politik. Jika menebang pohon secara semena-mena adalah bagian dari kelalaian mengelola hulu lingkungan, maka menyentuh dan memasukkan aspek-aspek fanatisme berlebihan—termasuk aspek identitas keetnikan—adalah bagian dari cara-cara menciptakan kedauhan di tengah-tengah paham masyarakat yang masih cenderung bergerak parsial.
Sulit untuk dibayangkan jika setiap prilaku para pelakon politik daerah meniupkan seruling bernuansa sektarianisme, politik identitas, dan atau intimidasi ke dalam rahim politik sebagai salah satu instrumen inti. Tentunya akan menjadi polutan asap yang terpapar bebas yang juga hampir dibenarkan mengotori atmosfir perpolitikan daerah. Masyarakat dengan segenap pengetahuaanya akan mengalami satu fase kritis karena akan kehilangan orientasinya sehingga tidak lagi mampuh membedakan mana tuturan personal yang bernilai privasi dan mana percakapan di ruang publik yang tidak perlu ditafsir secara berlebihan.
Padahal politik pada esensinya adalah sebuah seni dalam kemungkinan (the art of possible); mungkin menang, mungkin kalah; mungkin dipilih atau mungkin tidak dipilih, saat ini telah mengalami peralihan fungsi. Penyebabnya sederhana saja, mereka yang menggunakan istilah ini hanya mengunci diri pada satu makna yakni “hanya kemungkinan memenangkan perhelatan” dan tidak mau membuka ruang untuk kemungkinan lainnya alias belum menang.
Kegaduhan Substantif
Kehadiran metode memilih langsung baik kepala negara, kepala daerah dan legislatif yang semestinya menjadi wahana tercapainya demokrasi dan penguatan nilai-nilia normatif serta artikulasi politik rakyat dalam bentuk media kontrak sosial antara rakyat dan pemimpinnya benar-benar berada di ujung lorong sempit. Ia berjalan tidak linier dengan kemauan serta substansi reformasi. Kran kebebasan menyampaikan pendapat tanpa penahannya membuat semua orang merasa memiliki hak berpendapat: kapan, di mana, dan bagaimana cara menyajikan pendapatnya tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah bahwa aspirasinya tersampaikan.
Olehnya itu dapat dipastikan bahwa jika kita gagal mengelola nuansa kebebasan yang cenderung kebablasan ini akan melahirkan suasana perpolitikan yang tidak kondusif. Rakyat dan pemimpin memang dekat secara fisiologis tetapi sebenarnya terpisah dalam aspek psikologis. Tembok-tembok sistem politik yang menggunakan segala cara demi mencapai kekuasaan mengikis hasib harapan rakyat di mata pemimpinnya. Sehingga jangan heran, pada setiap pilkada, kasus “money politic” selalu mencuat dan menjadi primadona.
Mungkin banyak khalayak umum berpendapat bahwa kegaduhan dalam dunia politik adalah sebuah fenomena yang biasa (dinamika). Tetapi jika diteropong dengan cermat, ia merupakan bom waktu yang perlu ditangani secara serius. Kecuali, kegaduhan tersebut hanya sebatas pada perkelahian gagasan, otokritik yang konstruktif sebagai metode melahirkan solusi-solusi manis semata demi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Tetapi jika hal itu sudah merasuki ruang privasi, membangkitkan nilai sektarianisme dan berlanjut pada kontestasi politik, maka diperlukan sentuhan khusus sebagai obat penawarnya.
Kehadiran metode memilih langsung baik kepala negara, kepala daerah dan legislatif yang semestinya menjadi wahana tercapainya demokrasi dan penguatan nilai-nilia normatif serta artikulasi politik rakyat dalam bentuk media kontrak sosial antara rakyat dan pemimpinnya benar-benar berada di ujung lorong sempit. Ia berjalan tidak linier dengan kemauan serta substansi reformasi. Kran kebebasan menyampaikan pendapat tanpa penahannya membuat semua orang merasa memiliki hak berpendapat: kapan, di mana, dan bagaimana cara menyajikan pendapatnya tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah bahwa aspirasinya tersampaikan.
Olehnya itu dapat dipastikan bahwa jika kita gagal mengelola nuansa kebebasan yang cenderung kebablasan ini akan melahirkan suasana perpolitikan yang tidak kondusif. Rakyat dan pemimpin memang dekat secara fisiologis tetapi sebenarnya terpisah dalam aspek psikologis. Tembok-tembok sistem politik yang menggunakan segala cara demi mencapai kekuasaan mengikis hasib harapan rakyat di mata pemimpinnya. Sehingga jangan heran, pada setiap pilkada, kasus “money politic” selalu mencuat dan menjadi primadona.
Mungkin banyak khalayak umum berpendapat bahwa kegaduhan dalam dunia politik adalah sebuah fenomena yang biasa (dinamika). Tetapi jika diteropong dengan cermat, ia merupakan bom waktu yang perlu ditangani secara serius. Kecuali, kegaduhan tersebut hanya sebatas pada perkelahian gagasan, otokritik yang konstruktif sebagai metode melahirkan solusi-solusi manis semata demi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Tetapi jika hal itu sudah merasuki ruang privasi, membangkitkan nilai sektarianisme dan berlanjut pada kontestasi politik, maka diperlukan sentuhan khusus sebagai obat penawarnya.
Catatan
Solusi
Saya mencoba untuk menawarkan sejumlah pilihan bagaiman kegaduhan dapat diatasi secara preventif sejak dini. Solusi ini mungkin terkesan masih sebatas gagasan tetapi paling tidak menambah khazanah berpikir kita tentang bagaimana menyikapi sebuah fenomena politik yang bergerak dinamis, menyentuh semua kalangan dan menjadi komoditi bagi kalangan yang berkepentingan terhadap setiap suksesi kepemimpinan daerah termasuk di Maluku Utara.
Dalam perkara politik daerah, termasuk di Maluku Utara, kita perlu meletakkan kaidah politik santun di atas segala kepentingan. Kesantunan dalam berplotik ini paling tidak membawa angin segar dan menghapus semua asumsi bahwa pilkada akan membawa petaka dalam soal relasi sosial masyarakat. Melalui kaidah-kaidah kesantunan ini juga memberi pelajaran berharga bahwa adigium tidak ada kawan sejati dan musuh abadi dalam kamus politik perlahan-perlahan terlepas dari asumsi masyarakat.
Selain itu, perlu juga menjunjung etika politik. Prof. Amien Rasi menyebutnya sebagai high politic (politik tingkat tinggi), yakni merangkul semua, menatap semua jenis kepentingan dan mengumbar harapan bagi semua. Tidak bersikap arogan apalagi mau mempertahankan pendapat sendiri di tengah-tengah rakyat. Etika politik juga dapat dimengerti sebagai dimenasi lain dari sikap tenggang rasa, bagaimana pun cara dan metode penyajiannya. Sebab dengan bertenggang rasa, kita menciptakan jembatan penghubung antara yang memimpin dan yang memimpin.
Melalui etika politik, kepentingan rakyat akan didorong untuk menempati lokomotif utama dari semuanya. Saya berpendapat hal inilah yang saat ini masih misterius karena belum mengakar ke dalam. Janji-janji manis para calon pemimpin yang sering tak terpenuhi ikut menambah berat beban politik masa kini. Kepercayaan rakyat sudah sulit diperoleh. Maka jangan heran, jika setiap momen pilkada, model politik transaksional menjadi menu utama dalam pemberitaan di media masaa bahkan berterbangan sampai ke Jakarta.
Paling urgen lagi dalam memerangi kegaduhan politik adalah tidak menggunakan nasihat Nicolo Machiaveli yaitu menghalalkan segala cara. Kapan niatan menghalalkan segala cara itu hadir dalam satu proses politik, kita akan masuk dalam keruhnya air lumpur yang dalam sambil berharap adanya sebuah pertolongan.
Kegaduhan bukan barang haram, sepanjang berada pada tataran percekcokan gagasan dalam rangka membangun negeri ini. Sebab ia akan menjadi sangat mahal bila salah ditempatkan pada di atas altar sikap politik beretika. Maka mari kita merawat negeri ini dan menghindari intrik politik yang cenderung merugikan kepentingan rakyat.(Istriku)
Iskar Hukum
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Saya mencoba untuk menawarkan sejumlah pilihan bagaiman kegaduhan dapat diatasi secara preventif sejak dini. Solusi ini mungkin terkesan masih sebatas gagasan tetapi paling tidak menambah khazanah berpikir kita tentang bagaimana menyikapi sebuah fenomena politik yang bergerak dinamis, menyentuh semua kalangan dan menjadi komoditi bagi kalangan yang berkepentingan terhadap setiap suksesi kepemimpinan daerah termasuk di Maluku Utara.
Dalam perkara politik daerah, termasuk di Maluku Utara, kita perlu meletakkan kaidah politik santun di atas segala kepentingan. Kesantunan dalam berplotik ini paling tidak membawa angin segar dan menghapus semua asumsi bahwa pilkada akan membawa petaka dalam soal relasi sosial masyarakat. Melalui kaidah-kaidah kesantunan ini juga memberi pelajaran berharga bahwa adigium tidak ada kawan sejati dan musuh abadi dalam kamus politik perlahan-perlahan terlepas dari asumsi masyarakat.
Selain itu, perlu juga menjunjung etika politik. Prof. Amien Rasi menyebutnya sebagai high politic (politik tingkat tinggi), yakni merangkul semua, menatap semua jenis kepentingan dan mengumbar harapan bagi semua. Tidak bersikap arogan apalagi mau mempertahankan pendapat sendiri di tengah-tengah rakyat. Etika politik juga dapat dimengerti sebagai dimenasi lain dari sikap tenggang rasa, bagaimana pun cara dan metode penyajiannya. Sebab dengan bertenggang rasa, kita menciptakan jembatan penghubung antara yang memimpin dan yang memimpin.
Melalui etika politik, kepentingan rakyat akan didorong untuk menempati lokomotif utama dari semuanya. Saya berpendapat hal inilah yang saat ini masih misterius karena belum mengakar ke dalam. Janji-janji manis para calon pemimpin yang sering tak terpenuhi ikut menambah berat beban politik masa kini. Kepercayaan rakyat sudah sulit diperoleh. Maka jangan heran, jika setiap momen pilkada, model politik transaksional menjadi menu utama dalam pemberitaan di media masaa bahkan berterbangan sampai ke Jakarta.
Paling urgen lagi dalam memerangi kegaduhan politik adalah tidak menggunakan nasihat Nicolo Machiaveli yaitu menghalalkan segala cara. Kapan niatan menghalalkan segala cara itu hadir dalam satu proses politik, kita akan masuk dalam keruhnya air lumpur yang dalam sambil berharap adanya sebuah pertolongan.
Kegaduhan bukan barang haram, sepanjang berada pada tataran percekcokan gagasan dalam rangka membangun negeri ini. Sebab ia akan menjadi sangat mahal bila salah ditempatkan pada di atas altar sikap politik beretika. Maka mari kita merawat negeri ini dan menghindari intrik politik yang cenderung merugikan kepentingan rakyat.(Istriku)
Iskar Hukum
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta