Mirah dari Banda
17:17
Kisah Perbudakan di Perkebunan Pala
Ketika Mirah melihat Wendy, seolah dia
melihat Tuan Besar hidup kembali. Mata perempuan cantik asal Australia itu
mengingatkannya akan mata Tuan Besar. Dan perawakannya mengingatkannya akan
Lili, putrinya yang hilang dibawa tentara Jepang.
Saat Wendy Higgins memandang Mirah,
tukang masak tua yang bekerja pada keluarga Jack, dia merasa sebuah ikatan
membungkus mereka, tanpa dia sadari apa maknanya. Liburan yang direncanakan
bakal diisi dengan banyak bersenang-senang di laut, justru dihabiskannya dengan
menelusuri sejarah Mirah dan pala, tanaman yang semula ada hanya di kepulauan
Banda.
Dan Hanna
Rambe, sang pengarang, tak mengarahkan novelnya dengan mempertemukan dua tokoh
Mirah dan Wendy sebagai nenek dan cucu. Justru dia mengurai hidup Mirah sebagai
buruh pemetik pala yang kemudian menjadi Nyai Belanda, dan berakhir sebagai
tukang masak. Sejarah Mirah adalah sejarah perkebunan pala di Banda itu
sendiri. Inilah yang menurut saya membuat novel ini ‘beda’. Tak jatuh pada
romantisme murahan yang mudah ditebak, tapi pada deskripsi pahit sejarah
kolonialisme di Maluku.
Surga pala dan fuli di Banda justru
menjadi neraka bagi penduduknya. Rempah surgawi ini yang menarik kaum petualang
barat datang, memulai kolonialisme selama 5 abad di kepulauan nusantara. Pala,
fuli, maupun cengkeh di masa lalu nilainya melebihi emas. Sehingga muncul
pemeo pohon emas, atau bagi pemiliknya kerap dinyatakan tinggal goyang pohon, emas pun jatuh dari langit.
Novel ini melukiskan dengan apik mulai
mitos pohon pala, pembumihangusan penduduk Banda oleh JP Coen, berawalnya
perbudakan pala di nusantara hingga perang dunia kedua. Sebuah novel sejarah
yang runtut dan indah, yang dibangun dalam tokoh Mirah mantan budak pemetik
pala.
Tentang muasal pohon pala, dikisahkan
Putri Ceilo Bintang yang cantik jelita, putra Raja Mata Guna dan Putri Delima.
Suatu hari putri ini mengharuskan pelamarnya, Putra Mahkota Kerajaan Timur,
membawa seribu batang pohon pala. Sayang, ketika menuju Pulau Banda Besar,
tepatnya di Lonthoir, putra mahkota terbunuh. Pohon pala pun tumbuh subur di
tanah itu.
Paska penaklukan Malaka oleh Portugal
tahun 1511, pelaut Portugal menemukan jalan ke Banda. Mereka akhirnya
mendapatkan langsung pala dari tangan orang pertama. Belanda baru mencapai
Pulau Banda Besar pada 1599. Dua tahun kemudian, secara licik orang Belanda
membuat kontrak monopoli pembelian pala dengan orang kaya Banda. Namun penduduk
Banda enggan ditipu, yang berakhir dengan pembantaian pasukan Belanda yang
dipimpin Verhoeven pada 1606. Satu di antara awak Belanda berhasil
menyelamatkan diri, dialah Jan Pieterzoon Coen.
Kelak, ketika JP Coen menjadi Gubernur
Jendral Hindia Belanda pada 1621, dia membumihanguskan penduduk Banda. Dari 15
ribu penduduk Kepulauan Banda, hanya seribu yang luput dari pembantaian JP
Coen. Mereka menyebar ke pulau-pulau kecil sekitar seperti Kei, Seram, dan Aru.
Sebagian besar
pohon pala pun dihancurkan. Seperti yang ada di Pulau Rhun. Tujuannya, agar
penduduk Banda yang tersisa tak lagi bisa berdagang pala. Tak berapa lama
Belanda mendatangkan orang kulit putih sebagai perkenier, yaitu pengusaha kebun yang mendapat izin
mengelola perkebunan pala atau perken.
Belanda juga
membantu merekrut pekerja perkebunan dengan mendatangkan budak-budak dari Nieuw Guinea, Pulau Seram, Buru, Borneo, dan lainnya.
Budak-budak ini umumnya ditipu, diiming-imingi pekerjaan yang enak di Banda
dengan upah tinggi. Mirah adalah satu contoh perekrutan budak ini.
Dalam penuturannya kepada Wendy, Mirah
ingat kala itu masih bocah, baru tanggal gigi. Bersama pembantunya, Yu Karsih,
dia hendak menjemput ibunya ke pasar, sambil membawa kelapa. Di tengah jalan,
Yu Karsih tergiur ajakan dua pria yang memborong semua kelapa mereka. Akhirnya
mereka berdua masuk ke dalam perangkap para budak Jawa yang diberangkatkan ke
Banda.
Di Bandaneira Mirah dan Yu Karsih
memulai hidup mereka sebagai pemetik buah pala. Pengarang begitu detil
menggambarkan seluk beluk tentang pala. Gaya penuturan orang pertama (Mirah) pun
sangat memikat. Membuat pembaca hanyut dibawa alunan cerita hingga akhir kisah.
Perkebunan Pala telah membuat Kerajaan
Belanda menjadi kaya raya di benua Eropa. Penulis memisalkan, jika pala yang di
tanah asal dihargai setengah rupiah, di Eropa membumbung menjadi enam puluh
satu rupiah. Namun bagaimana nasib para buruh pala, budak pala, atau penduduk
Banda? Bagai langit dan bumi dengan Negara penjajahnya.
Ketika
kekuasaan Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1796, pala tak lagi
menjadi tanaman eksklusif di Banda. Pedagang asal Inggris, Perancis, mulai
menyebarkan bibit pala ke Ceylon, Bencoolen, Penang, Pulau Grenada,
Zanzibar hingga Madagaskar. Dimulailah era kejatuhan perdagangan pala di The Bride of Mollucas ini.
Ketika Jepang menggempur Belanda di
Asia Pasifik mengawali perang dunia kedua, kebun pala pun berubah menjadi kebun
tanaman palawija. Penduduk pulau harus menanam tanaman pangan agar bertahan
hidup. Demikian juga di awal kemerdekaan Indonesia.
Novel ini tak hanya berkisah tentang
sejarah perkebunan pala, filosofi pohon pala atau perbudakan di kebun
pala, namun juga mengulas kehancuran akibat perang. Perempuan tak hanya menjadi
budak perkebunan, tapi juga budak seks penjajah. Begitu kompleks yang diulas
pengarang dalam buku setebal hamper 400 halaman ini. Sayang kalau dilewatkan.
Sebagai
tambahan, Hanna Rambe menyelesaikan novel ini awal tahun 1980-an, namun novel
ini ditolak oleh banyak penerbit kala itu. Akhirnya dia menerbitkan sendiri
novelnya, bekerjasama dengan Universitas Indonesia Press tahun 1983. Pada tahun
1988, novel ini diterbitkan kembali oleh Indonesia Tera, dan pada 2010 oleh
Yayasan Obor. Kerap, karya bermutu yang tak mengikuti meanstream menjadi
bahan penolakan penerbit. Padahal kandungan nilai dan keindahannya jauh
melampaui karya-karya mainstream.
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
0 comments