Surat Pernikahan Untuk Munjia Abdullah. Sangadji

07:40


Oleh: Ivan Illich

Oh, Kandaku.
Pinanganmu  datang
menjelang hari kurban.
Tanda cinta dibawa bersama
Di rumahmu yang sederhana.

Tak perlu menunggu lama
Tiga pintu terbuka lebar
Rumah, rezeki, dan hatimu
menyapa hangat rombongan.

Oh, Kandaku.
Jawa dan Makeang memang berbeda,
begitu pula padi dan kelapa.
Tapi, kasih dan sayang
adalah muara tak berujung.

Oh, Kandaku
Ayo tanam padi dan kelapa,
berdampingan tanpa tapal batas.
Lalu rawatlah dengan baik
hingga berbuah dan mati.

Kandaku,
izinkanlah ia mengecup keningmu.
Saat selesai akad nikah,
Itu tandanya padi dan kelapa tak lagi berbeda.
Agar kelak bisa ditanam
dalam satu lahan yang sama.

Kandaku...
Akad nikah hampir tiba.
Aku masih menimang-nimang,
padi atau kelapa yang harus kalian tanam.
Tapi entahlah,
biar kuserahkan pada daun padi dan kelapa.
Yang mana paling hijau daunnya?.

Kandaku....
Kupesankan sebuah perenungan
Agar kalian melihat dengan mata batin
Kelak kalian berada diatas bahtera
Jangan sekali-kali lupakan yang bersamamu
Apalagi empat orang di jiku bahtera itu
Rangkul dan berikanlah sehelai kain,
Kain yang telah lama disimpan
menunggu kau berikan dengan tangan sendiri.
Agar mereka tak merasakan kedinginan saat malam, dan panasnya matahari.

Kandaku,
sosokmu bukan bintang,
bukan pula bulan
Tapi kau adalah matahari.
Selalu memberi cahaya bagi gugusan benda angkasa.
Termasuk bumi yang engkau pijak.
Oleh karena itu, padamulah matahari bisa redup dan bersinar cerah.

Kandaku,
maafkan daku, tak mampu melangkah
dari Ujung Pandang ke tanjung barnabas
untuk sekedar mancing ikan
buat jamuan tamu undangan.
Atau, memberikan sebuah kado berisi kenangan.

Kandaku,
di sini, selatan Ujung Pandang.
Sukma ini dirundung kerinduan amat dalam
betapa ingin memelukmu saat menangis,
saat kau lepaskan jubah bujangan
menggantikannya dengan mahkota pengantin.

Di sini, selatan Ujung Pandang.
Mimipi ini menukar segala prasangka
baik dan buruk orang dikampung
kala ibu beritahu,
sampai tangis tak tertahankan.

Kandaku,
Kuterima telfon terakhir dari ibu tercinta.
Pertengahan cerita,
Ibu katakana kau menangis,
Kau mengingatku.
Jangan!
Biar ku beritahu,
Hal yang paling menyedihkan di dunia ini.
Kematian dan pernikahan.
Keduanya adalah pelepasan terakhir,
Keluarga dan Dunia….
Jadi,

Relakan segalanya dan jadilah istri yang berbakti.

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images