Perampasan Ruang Hidup; Cerita Orang Halmahera
10:35
Judul: “Perampasan
Ruang Hidup; Cerita Orang Halmahera”
Penulis: Surya Saluang, Didi Novrian, Risman Buanona, Meifita Handayani
Penerbit: Tanah Air Beta
Penulis: Surya Saluang, Didi Novrian, Risman Buanona, Meifita Handayani
Penerbit: Tanah Air Beta
Pada awal 2000an, saya mengenal Levebvre ketika baru
berkenalan dengan wacana Situasionisme, yang merupakan salah satu upaya saat
itu mengatasi kebuntuan wacana (termasuk demoralisasi) ketika berhadapan dengan
kefrustasian di lapangan pasca reformasi. Ketika kapitalisme berhasil keluar
dari krisis, perlawanan menjadi banal, banyak hal tak kunjung berubah dan
banyak harapan kandas. Henri Levebvre, menulis analisanya tentang mengapa
kapitalisme dapat bertahan selama ini dan tak kunjung mampus akibat kontradiksi
internalnya seperti yang banyak diramalkan oleh kaum kiri. Ia menulis teorinya
tentang produksi ruang (production of space), dimana lewat penciptaan perluasan
ruang, kapitalisme mampu untuk bangkit dari setiap krisis terberat sekalipun
yang terus terhimpun di dalam setiap proses moda produksinya.
Levebvre tak banyak menjawab kegelisahan saat itu. Selain
sulit membaca teksnya (teks-teks Situasionis pusingnya minta ampun), pula ia
tak menjelaskan secara tepat bagaimana atau mengapa kapitalisme mampu bangkit
dari krisis tersebut. Pemahaman saya sepotong-sepotong. Pun ketika David Harvey
pada bukunya kemudian, meneruskan Levebvre, menjelaskan hubungan antara
kapitalisme dengan produksi ruang, untuk orang seperti saya yang sering gagal
fokus tak cukup menjelaskan banyak. Teorinya soal ‘spatio-temporal fix’ membuat
saya menyeruput kopi dan mentertawakan diri sendiri, bagaimana bisa orang-orang
mencerna pemikiran David Harvey dalam sekali baca.
Pada penghujung tahun 2015 lalu, saya menemukan buku ini. “Perampasan Ruang Hidup;
Cerita Orang Halmahera”. Dijual di lapak kawan-kawan Perpustakaan Jalanan
pada saat rombongan kamerad dari anarkis.org berkunjung ke Bandung untuk
berbagi wacana tentang pengorganisasian partisipatoris. Pasca membacanya habis
dalam waktu tidak singkat, saya bisa memahami dan memberi ilustrasi bagi saya
sendiri tentang apa yang dimaksud Levebvre dan Harvey dengan (re)produksi
ruang. Bagaimana kapital bekerja melalui penciptaan perluasan ruang, mengeruk
sumber daya alam lokal, mengorganisasi pembagian tenaga kerja yang sepenuhnya
baru secara teritorial, merubah corak produksi masyarakat, membuka
kawasan-kawasan baru sebagai ruang akumulasi kapital yang dinamis, membuka
kompleks-kompleks sumber daya baru dan lebih murah, dan melakukan penetrasi
pada formasi-formasi sosial.
Ditulis oleh Surya Saluang dan kawan-kawan (yang dengan
rendah hati menyebut diri mereka ‘Tim Belajar’), buku “Perampasan Ruang Hidup”
ini merupakan hasil komunikasi mereka dengan masyarakat pada rentang waktu
setahun di beberapa kabupaten yang ada di Propinsi Maluku Utara yaitu Kabupaten
Halmahera Timur, Kabupaten Sula, kabupaten Halmahera Tengah, dan kabupaten
Halmahera Utara pada tahun 2012.
Dengan pendekatan ‘Emik’ (mencoba menjelaskan suatu
fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri), buku
ini saya anggap buku terbitan lokal terbaik yang saya peroleh di tahun 2015
lalu. Tak pernah sebelumnya saya membaca sebuah buku ‘ekonomi politik’ yang
nyaris sempurna menceritakan perubahan corak produksi masyarakat, perampasan
lahan dan skema pengerukan secara sistematis yang dituturkan dengan cara
bercerita, sedemikian rupa sehingga nyaris tak ada kutipan teoritik dari para pemikir-pemikir
ekonomi politik pada bab-bab buku ini. Kata ‘Marx’ atau ‘Levebvre’ hanya saya
temukan pada bab pengantar. Sisanya, cerita mengalir seolah sebuah film
dokumenter.
Secara keseluruhan, buku ini bercerita tentang Halmahera
pasca ekspansi kapital lewat narasi besar Pembangunan dan Pengembangan Daerah
dilakukan disana. Namun Saluang dan kawan-kawan membukanya jauh hari sebelum
‘Indonesia’ ada. Bagaimana gagasan besar pembangunan telah lama mengakar hadir
sejak zaman kolonial, di era primadona rempah di zaman kerajaan Ternate-
Tidore. Menghasilkan cerita pundi-pundi kekayaan Spanyol, Inggris, Portugis dan
Belanda yang didapat dari perampasan rempah-rempah dan perbudakan di kepulauan
ini. Pada era inilah ekstraksi alam dan manusia menjadi komoditas-komoditas dan
hubungan dengan pasar mulai secara massif dibangun. Kolonialisme tak menyisakan
apapun kecuali kemelaratan dan ketidakmerataan.
Saluang dkk memulai dari gerbang ini untuk menjelaskan
inti dari cerita orang Halmahera yang menjadi ruh buku ini, bahwa semangat
keruk ini diteruskan di era modern, pasca kebangkitan nasionalisme yang
melahirkan kemerdekaan dan republik. Pembangunan post-kolonial justru mengulang
tipologi yang sama dari kolonialisme, terutama pada masa Orde Baru dengan
pembangunan yang menerima model pertumbuhan makro (modal). Negara yang miskin
modal namun kaya akan sumber daya alam akhirnya mengikuti dunia modern barat
bahkan dalam skala kebutuhan dan produktivitas. Konsep pembangunan ekonomi dan
komodifikasi alam pun berlanjut dengan asumsi menuju industrialisasi.
Dengan awal narasi itulah, Saluang dkk memulai cerita
tentang perampasan ruang hidup dengan memaparkan hasil belajar latar belakang
ekologi dua wilayah, Maba dan Wasile. Sebagian besar lewat penuturan warga
lokal. Menggali sejarah lokal, berbagai ragam perubahan moda produksi ruang
kapital baru di tingkatan masyarakat yang paling umum dan sehari-hari.
Ini merupakan bagian terpenting dalam buku ini. Dengan
jelas dituturkan bagaimana bentuk-bentuk penguasaan tanah dan sumber penghidupan
yang berbasis alam di Maba dan Wasile di mana semangat dasar dari sistem
penghidupannya yang komunal, kolektif dan berdasar kemashlahatan hidup bersama.
Kemudian dituturkan bagaimana ketika perubahan-perubahan
besar datang seiring masuknya moda ekonomi keruk. Halmahera, setelah
terkotak-kotakan secara sosial pasca kerusuhan SARA, termasuk satu di antara
sekian banyak daerah yang saat ini sedang secara masif mengubah bentang alamnya
dengan banyak investasi baru atas nama pembangunan dan pengembangan daerah.
Sebutlah, dalam satu periode yang hampir bersamaan bermunculan blok-blok
pertambangan, penebangan hutan, sekaligus Taman Nasional.
Saat itu MP3EI dan mitos peluang kerja hadir, tambang
nikel berekspansi dan fenomena kapling dan ganti rugi menjadi ujung tombak
rusaknya hubungan sosial. Antara sesama masyarakat, marga dan keluarga saling
bersaing demi mendapatkan jatah ganti rugi. Masyarakat kehilangan hubungan
primordialnya dengan tanah, bagaimana warga menggunakan uang ganti rugi sebagai
sumber penghidupan dan menghabiskannya begitu cepat. Bagaimana kemudian, bukan
hanya efek ekologi (hancurnya alam) yang hadir, tapi juga efek sosial yang
berkembang dalam bentuk kesenjangan ekonomi dan kriminalitas.
Pasca tambang hadir, warga lokal bukan hanya kehilangan
ruang hidup aslinya dan menemukan alamnya luluh lantak, namun mereka pula
kehilangan ikatan sejarahnya dengan tanahnya sendiri dan pada akhirnya
kehilangan pilihan dan kebebasan.
Buku ini sangat penting untuk belajar bagaimana kapital
dan semangat keruk bekerja, untuk kemudian mencari jalan ke arah pembalikan
krisis. Karena ada kesamaan semangat di setiap tingkat kapital, dari sub-lokal,
lokal, regional, nasional hingga global. Dengan belajar dari krisis di
Halmahera, kita bisa belajar membaca arus kapitalisme global yang bekerja di
periferi (pinggiran-pinggiran) dan dalam dunia harian orang banyak. Termasuk
mempelajari bagaimana dibentuknya ruang kapital itu sendiri, sebagai suatu
usaha mengalihkan surplus dari tempat lain ke wilayah periferi yang belum
tersentuh sebelumnya. Karena, mengutip Harvey, proses sirkulasi kapital di
dalam kapitalisme ini harus terus bergerak. Jika kapital tidak bergerak keluar,
kapital akan mengalami kehancuran dan devaluasi.
Proses belajar dalam upaya pembalikan krisis ini semakin
signifikan dirasakan hari ini, dimana rezim sekarang tak berubah sedikitpun
dalam semangat keruk dan kebijakan ‘pembangunan’nya yang ekspansif. Ketika
MP3EI yang banyak dikutuk di era SBY menemukan pengejewantahan nyatanya pada
RPJMN rezim hari ini.
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk
diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut
perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda
mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
0 comments