Rambut Gondrong Dalam Stigma Sejarah Indonesia
00:28
Oleh: El Trax
Pernahkah anda melihat pria berambut gondrong? Apa
yang ada di benak anda ketika melihat pria gondrong?
Gondrong adalah sebutan yang berkembang di
masyarakat bagi laki-laki yang berrambut panjang.Di masyarakat Indonesia
laki-laki berrambut gondrong dianggap tidak wajar karena diidentikkan dengan
pelanggaran nilai dan norma sebagai laki-laki. Banyak stigma negatif yang
seringkali dilekatkan pada laki-laki berrambut gondrong. Seringkali secara
spontan dan semena-mena rambut gondrong diasosiasikan dengan orang-orang yang
tidak tahu aturan, pemuda bebal, preman, pelaku kejahatan, perampok, penculik,
bahkan pemerkosa.
Masyarakat tentunya tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas stigma yang berkembang mengenai rambut gondrong. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konstruksi media (khususnya pada zaman orde baru) yang memberikan wacana rambut gondrong dengan mengarahkan dan mengkonstruksi realitas ke arah hal-hal negatif. Pemberitaan media massa di zaman orde baru mengenai orang berrambut gondrong selalu diikuti dengan struktur diskursif yang mengarah pada tindak kejahatan, misalnya pada sebuah berita, terpampang judulTujuh Laki-laki Gondrong Memperkosa Seorang Mahasiswi.Struktur diskursif ini secara sengaja di bangun oleh penguasa untuk menampakkan bahwa rambut gondrong adalah simbol kriminalitas yang membahayakan, dan bahwa gondrong merupakan kode fisik yang secara langsung berkaitan denan kriminalitas. Dengan demikian, masyarakat terkonstruk untuk memahami makna rambut gondrong dalam dominasi satu persfektif khusus.
Ditengah maraknya stigma negatif yang masih tertanam sepeninggal orde baru, masih ada beberapa pemuda yang dengan bangga memiliki rambut gondrong. Bahkan di kampus-kampus, tempat berkembangnya peradaban ilmu pengetahuan, diantara orang-orang berpendidikan masih dapat dijumpai beberapa mahasiswa berrambut gondrong. Padahal di tengah masyarakat, seorang intelektual seringkali diidentikkan dengan penampilan yang rapi, kemeja, celana bahan, sepatu, dan rambut klimis. Kebanggaan identitas subculture atas rambut gondrong ini kemudian patut disoroti.
Masyarakat tentunya tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas stigma yang berkembang mengenai rambut gondrong. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konstruksi media (khususnya pada zaman orde baru) yang memberikan wacana rambut gondrong dengan mengarahkan dan mengkonstruksi realitas ke arah hal-hal negatif. Pemberitaan media massa di zaman orde baru mengenai orang berrambut gondrong selalu diikuti dengan struktur diskursif yang mengarah pada tindak kejahatan, misalnya pada sebuah berita, terpampang judulTujuh Laki-laki Gondrong Memperkosa Seorang Mahasiswi.Struktur diskursif ini secara sengaja di bangun oleh penguasa untuk menampakkan bahwa rambut gondrong adalah simbol kriminalitas yang membahayakan, dan bahwa gondrong merupakan kode fisik yang secara langsung berkaitan denan kriminalitas. Dengan demikian, masyarakat terkonstruk untuk memahami makna rambut gondrong dalam dominasi satu persfektif khusus.
Ditengah maraknya stigma negatif yang masih tertanam sepeninggal orde baru, masih ada beberapa pemuda yang dengan bangga memiliki rambut gondrong. Bahkan di kampus-kampus, tempat berkembangnya peradaban ilmu pengetahuan, diantara orang-orang berpendidikan masih dapat dijumpai beberapa mahasiswa berrambut gondrong. Padahal di tengah masyarakat, seorang intelektual seringkali diidentikkan dengan penampilan yang rapi, kemeja, celana bahan, sepatu, dan rambut klimis. Kebanggaan identitas subculture atas rambut gondrong ini kemudian patut disoroti.
Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang bebas
menentukan kode fisik yang dikehendakinya. Gondrong adalah hak. Setiap individu
berhak menentukan citra diri dan identitasnya, termasuk ketika individu
tersebut memilih rambut gondrong sebagai penampilan yang menggambarkan
identitas dirinya.
Rambut
di Anggap sebagai Pelambang Moralitas dan Status Sosial.
Tidak adil jika melekatkan anggapan bahwa rambut gondrong identik dengan orang-orang tidak bermoral, sayangnya hal itulah yang saat ini beredar di masyarakat. Gondrong hanya sebuah kode fisik yang sama sekali tidak berhubungan dengan moral ataupun status sosial. Kode artifisial seperti rambut tentunya tidak akan mampu merepresentasikan sesuatu yang berada di dalam diri manusia itu sendiri, apalagi jika kita menakar moralitas seseorang melalui panjang atau pendeknya rambut mereka.
Mengaitkan kode fisik dengan moralitas tentu saja bukan hal yang lumrah, bayangkan saja jika orang kurus diidentikkan dengan politisi yang rajin korupsi, atau orang gendut diidentikkan dengan pembunuh bayaran, tentunya akan menjadi suatu hal yang tidak masuk akal. Lantas, kenapa stigma negatif laki-laki gondrong bisa menjadi begitu masuk akal? Bukankah banyak pelaku kejahatan, pencopet, pemerkosa, perampok yang berrambut cepak, tapi kenapa ketika pelakunya adalah orang berrambut gondrong, hal tersebut menjadi poin perhatian lebih? Tentu saja karena media massa mengambil andil dalam mengkonstruksi rambut gondrong.
Di zaman Soeharto, rambut gondrong identik dengan mahasiswa bebal pembangkang orde baru yang menyuarakan perlawanan dengan begitu lantang. Disinilah terbentuk jurang pemisahan antara aktivis mahasiswa dengan orde baru. Di zaman Soeharto pula di bentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Ini sebuah fenomena yang sangat prestisius, dimana sebuah rezim pernah kerepotan mengurusi rambut rakyat.[1] Selain itu, di film-film yang diproduksi oleh pemerintah, seperti film G30SPKI yang diputarkan setiap tanggal 30 September, orang-orang gondrong mendapat peran sebagai penjahat. Hal-hal tersebut kemudian membuat masyarakat percaya bahwa rambut gondrong identik dengan pelaku kriminalitas yang patut diwaspadai. Parahnya lagi, pandangan umum mengenai rambut gondrong masih membekas sampai saat ini, saat dimana orde baru sudah tumbang 16 tahun yang lalu.
Namun demikian, nampaknya yang terkonstruk oleh media massa semasa orde baru bukan hanya masyarakat, tetapi juga beberapa orang berrambut gondrong itu sendiri. pandangan yang berkembang bahwa rambut gondrong terlihat sangar dan menyeramkan menjadikan beberapa oknum sengaja memanjangkan rambutnya agar dapat digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi orang lain. Oknum-oknum seperti ini sadar betul bahwa banyak orang yang akan merasa takut saat berhadapan dengan orang gondrong. Hal tersebut lah yang kemudian dijadikan kekuatan untuk melakukan kejahatan. Disinilah terlihat bagaimana kuatnya konstruk media, hal-hal yang tadinya tidak berkaitan kini menjadi suatu rangkaian setan yang sirkular.
Tidak adil jika melekatkan anggapan bahwa rambut gondrong identik dengan orang-orang tidak bermoral, sayangnya hal itulah yang saat ini beredar di masyarakat. Gondrong hanya sebuah kode fisik yang sama sekali tidak berhubungan dengan moral ataupun status sosial. Kode artifisial seperti rambut tentunya tidak akan mampu merepresentasikan sesuatu yang berada di dalam diri manusia itu sendiri, apalagi jika kita menakar moralitas seseorang melalui panjang atau pendeknya rambut mereka.
Mengaitkan kode fisik dengan moralitas tentu saja bukan hal yang lumrah, bayangkan saja jika orang kurus diidentikkan dengan politisi yang rajin korupsi, atau orang gendut diidentikkan dengan pembunuh bayaran, tentunya akan menjadi suatu hal yang tidak masuk akal. Lantas, kenapa stigma negatif laki-laki gondrong bisa menjadi begitu masuk akal? Bukankah banyak pelaku kejahatan, pencopet, pemerkosa, perampok yang berrambut cepak, tapi kenapa ketika pelakunya adalah orang berrambut gondrong, hal tersebut menjadi poin perhatian lebih? Tentu saja karena media massa mengambil andil dalam mengkonstruksi rambut gondrong.
Di zaman Soeharto, rambut gondrong identik dengan mahasiswa bebal pembangkang orde baru yang menyuarakan perlawanan dengan begitu lantang. Disinilah terbentuk jurang pemisahan antara aktivis mahasiswa dengan orde baru. Di zaman Soeharto pula di bentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Ini sebuah fenomena yang sangat prestisius, dimana sebuah rezim pernah kerepotan mengurusi rambut rakyat.[1] Selain itu, di film-film yang diproduksi oleh pemerintah, seperti film G30SPKI yang diputarkan setiap tanggal 30 September, orang-orang gondrong mendapat peran sebagai penjahat. Hal-hal tersebut kemudian membuat masyarakat percaya bahwa rambut gondrong identik dengan pelaku kriminalitas yang patut diwaspadai. Parahnya lagi, pandangan umum mengenai rambut gondrong masih membekas sampai saat ini, saat dimana orde baru sudah tumbang 16 tahun yang lalu.
Namun demikian, nampaknya yang terkonstruk oleh media massa semasa orde baru bukan hanya masyarakat, tetapi juga beberapa orang berrambut gondrong itu sendiri. pandangan yang berkembang bahwa rambut gondrong terlihat sangar dan menyeramkan menjadikan beberapa oknum sengaja memanjangkan rambutnya agar dapat digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi orang lain. Oknum-oknum seperti ini sadar betul bahwa banyak orang yang akan merasa takut saat berhadapan dengan orang gondrong. Hal tersebut lah yang kemudian dijadikan kekuatan untuk melakukan kejahatan. Disinilah terlihat bagaimana kuatnya konstruk media, hal-hal yang tadinya tidak berkaitan kini menjadi suatu rangkaian setan yang sirkular.
Gondrong
sebagai Citra dan Konsep Diri
Citra diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya
secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang
ukuran dan bentuk tubuh, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa
lalu.[2]
Sedangkan konsep diri menurut Potter dan Perry (2005) adalah citra mental
seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan
dan kelemahan pada seluruh aspek kepribadiannya.[3]
Dari konsep diri yang dipaparkan oleh Potter dan Perry, dapat disimpulkan bahwa
individu memiliki kebebasan untuk menginterpretasikan citra mentalnya dan
mengimplementasikannya dalam kode-kode fisik atau perilaku.
Dengan demikian, individu berhak bebas untuk membentuk citra dan konsep diri yang dianggapnya sesuai dengan kepribadiannya, termasuk dalam menentukan penampilan fisik yang dikehendakinya. Tapi pada kenyataannya kebebasan dalam pembentukan citra diri ini seringkali terkekang oleh stigma masyarakat. Seperti rambut gondrong, banyak orang yang ingin memiliki rambut gondrong tetapi tidak siap dengan stigma masyarakat yang akan dilekatkan pada dirinya.
Bentuk pengekangan pada pembentukan citra dan konsep diri ini kian nyata praktiknya. Pada kasus rambut gondrong, masih banyak sekolah-sekolah dari sekolah dasar hingga menengah atas yang melarang siswanya memiliki rambut gondrong, bahkan diadakan penertiban mengenai kerapian rambut setiap minggunya pada saat upacara bendera. Hal inilah yang nantinya dikaitkan dengan kekuasaan melalui mekanisme kontrol yang mana dilakukan dengan alibi kedisiplinan. Dalam buku Dilarang Gondrongnya, Aldino memaparkan lebih lanjut,
Dengan demikian, individu berhak bebas untuk membentuk citra dan konsep diri yang dianggapnya sesuai dengan kepribadiannya, termasuk dalam menentukan penampilan fisik yang dikehendakinya. Tapi pada kenyataannya kebebasan dalam pembentukan citra diri ini seringkali terkekang oleh stigma masyarakat. Seperti rambut gondrong, banyak orang yang ingin memiliki rambut gondrong tetapi tidak siap dengan stigma masyarakat yang akan dilekatkan pada dirinya.
Bentuk pengekangan pada pembentukan citra dan konsep diri ini kian nyata praktiknya. Pada kasus rambut gondrong, masih banyak sekolah-sekolah dari sekolah dasar hingga menengah atas yang melarang siswanya memiliki rambut gondrong, bahkan diadakan penertiban mengenai kerapian rambut setiap minggunya pada saat upacara bendera. Hal inilah yang nantinya dikaitkan dengan kekuasaan melalui mekanisme kontrol yang mana dilakukan dengan alibi kedisiplinan. Dalam buku Dilarang Gondrongnya, Aldino memaparkan lebih lanjut,
“Ini yang disebut
Foucault sebagai mekanisme panopticon yang tujuannya menimbulkan kesadaran
untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri seseorang.
Sebuahkesadaran yang mengisaratkan bahwa segala tindak tanduk dan gerak gerik
mereka ada yang mengontrol dan mengawasi. Tentunya kesadaran diawasi dan
dikontrol ini menimbulkan efek kepatuhan bahkan ketakutan. Maksud dari
Panopticon adalah menimbulkan rasa bersalah dan menyesal apabila keluar dari
batas-batas yang dipandang benar oleh penguasa. Sehingga tidak menjadi kekuatan
yang melawan atau resisten.” [4]
Pergeseran
Orientasi Rambut Gondrong
Rambut gondrong bukannya sebuah gaya baru dalam
masyarakat kita. Perlu diingat bahwa dalam sejarahnya, rambut gondrong sudah
eksis di masyarakat asia tenggara bahkan sebelum peradaban islam dan kolonial
masuk. Dahulu rambut gondrong justru dianggap sebagai simbol kewibawaan. Seringkali
ditemui ketika menonton film atau lukisan dengan latar waktu sebelum masuknya
islam di nusantara, banyak punggawa-punggawa istana, patih dan bahkan raja
sendiri yang berrambut gondrong.
Rambut gondrong sebagai perlambang wibawa kemudian berubah seiring masuknya Islam ke nusantara. Sejak Islam masuk, diperkenalkan bahwa rambut adalah salah satu pembeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga laki-laki seharusnya berrambut pendek. Meskipun begitu, masih banyak orang yang berrambut gondrong karena masih banyak kerajaan yang tidak menganut sistem islam pada masa itu, seperti kerajaan-kerajaan yang menganut sistem hindu dan budha.
Pada sekitar abad ke 17 masuklah bangsa-bangsa Eropa ke nusantara, orang-orang eropa ini yang kemudian memegang kendali atas nusantara selama 3,5 abad setelah kedatangan mereka. Tidak dapat dipungkiri, gaya berpakaian masyarakat eropa pada masa itu juga mempengaruhi pandangan masyarakat nusantara perihal penampilan yang ideal. Terlebih lagi, karena para penjajah ini kemudian banyak memegang kendali atas sistem birokrasi di nusantara, gaya berpenampilan mereka kemudian dipahami sebagai penampilan orang-orang yang berkuasa, mapan, ber etika dan intelek. Gaya berpenampilan yang dimaksudkan adalah setelan jas, celana kain dengan warna senada, sepatu mengkilap, rambut pendek klimis dan cerutu.
Meskipun datangnya islam dan kolonial ke Indonesia banyak mempengaruhi persepsi mengenai rambut gondrong itu sendiri, masih banyak pemuda yang bertahan dengan rambut gondrongnya. Banyak pejuang muda gondrong yang terjun langsung untuk memberikan sumbangsihnya terhadap revolusi dan perjuangan memerdekakan Indonesia. Gaya aktivis muda pada masa itu memang terlihat kontras dengan aktivis golongan tua yang identik dengan rambut pendek dan peci. Hal itu kemudian dapat diartikan bahwa gondrong dan peci tidak samasekali memberikan penjelasan kongkrit mengenai korelasinya dengan intelektualitas.
Di zaman Soekarno, rambut gondrong kemudian dituding sebagai kontra-revolusi, dianggap sebagai gaya hidup bawaan dari barat yang tidak mencerminkan nila-nilai nasionalisme. Soekarno melihat bahwa gaya rambut gondrong pada masa itu hanyalah upaya duplikasi karena efek dari popularitas dari band The Beatles yang saat itu para personilnya berrambut gondrong. Soekarno melihat bahwa kecintaan para pemuda pada group musik asal Britania ini yang ditakutkan mengikis nasionalisme kaum muda pada musik lokal, sampai kemudian tudingan kontra-revolusiitu melayang. Padahal banyak juga pejuang muda berrambut gondrong yang turut andil dalam revolusi di Indonesia.[5]
Ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh masa kepemimpinan Soeharto, pro-kontra mengenai rambut goondrong ini masih terus berlanjut. Namun, ketika masa orde baru, gondrong kemudian diidentikkan dengan aktivis muda yang bebal dan tidak bisa diatur. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya kaum hippies yang pada masa itu menampilkan rambut gondrong sebagai bentuk perlawanan terhadap militer AS yang sedang sibuk dengan perang Vietnam. Pemerintah orde baru yang memiliki kekhawatiran bahwa demam hippies mulai melanda Indonesia, kemudian berdalih bahwa rambut gondrong tidak sesuai dengan semangat pembangunan pada masa orde baru. Kekhawatiran yang berlebihan ini kemudian terlihat jelas dengan upaya pemerintah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong)[6]
Rambut gondrong sebagai perlambang wibawa kemudian berubah seiring masuknya Islam ke nusantara. Sejak Islam masuk, diperkenalkan bahwa rambut adalah salah satu pembeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga laki-laki seharusnya berrambut pendek. Meskipun begitu, masih banyak orang yang berrambut gondrong karena masih banyak kerajaan yang tidak menganut sistem islam pada masa itu, seperti kerajaan-kerajaan yang menganut sistem hindu dan budha.
Pada sekitar abad ke 17 masuklah bangsa-bangsa Eropa ke nusantara, orang-orang eropa ini yang kemudian memegang kendali atas nusantara selama 3,5 abad setelah kedatangan mereka. Tidak dapat dipungkiri, gaya berpakaian masyarakat eropa pada masa itu juga mempengaruhi pandangan masyarakat nusantara perihal penampilan yang ideal. Terlebih lagi, karena para penjajah ini kemudian banyak memegang kendali atas sistem birokrasi di nusantara, gaya berpenampilan mereka kemudian dipahami sebagai penampilan orang-orang yang berkuasa, mapan, ber etika dan intelek. Gaya berpenampilan yang dimaksudkan adalah setelan jas, celana kain dengan warna senada, sepatu mengkilap, rambut pendek klimis dan cerutu.
Meskipun datangnya islam dan kolonial ke Indonesia banyak mempengaruhi persepsi mengenai rambut gondrong itu sendiri, masih banyak pemuda yang bertahan dengan rambut gondrongnya. Banyak pejuang muda gondrong yang terjun langsung untuk memberikan sumbangsihnya terhadap revolusi dan perjuangan memerdekakan Indonesia. Gaya aktivis muda pada masa itu memang terlihat kontras dengan aktivis golongan tua yang identik dengan rambut pendek dan peci. Hal itu kemudian dapat diartikan bahwa gondrong dan peci tidak samasekali memberikan penjelasan kongkrit mengenai korelasinya dengan intelektualitas.
Di zaman Soekarno, rambut gondrong kemudian dituding sebagai kontra-revolusi, dianggap sebagai gaya hidup bawaan dari barat yang tidak mencerminkan nila-nilai nasionalisme. Soekarno melihat bahwa gaya rambut gondrong pada masa itu hanyalah upaya duplikasi karena efek dari popularitas dari band The Beatles yang saat itu para personilnya berrambut gondrong. Soekarno melihat bahwa kecintaan para pemuda pada group musik asal Britania ini yang ditakutkan mengikis nasionalisme kaum muda pada musik lokal, sampai kemudian tudingan kontra-revolusiitu melayang. Padahal banyak juga pejuang muda berrambut gondrong yang turut andil dalam revolusi di Indonesia.[5]
Ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh masa kepemimpinan Soeharto, pro-kontra mengenai rambut goondrong ini masih terus berlanjut. Namun, ketika masa orde baru, gondrong kemudian diidentikkan dengan aktivis muda yang bebal dan tidak bisa diatur. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya kaum hippies yang pada masa itu menampilkan rambut gondrong sebagai bentuk perlawanan terhadap militer AS yang sedang sibuk dengan perang Vietnam. Pemerintah orde baru yang memiliki kekhawatiran bahwa demam hippies mulai melanda Indonesia, kemudian berdalih bahwa rambut gondrong tidak sesuai dengan semangat pembangunan pada masa orde baru. Kekhawatiran yang berlebihan ini kemudian terlihat jelas dengan upaya pemerintah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong)[6]
Implementasi kekhawatiran pemerintah orde baru terhadap rambut gondrong ternyata tidak berhenti pada tataran pemberantasan rambut gondrong dengan melakukan razia, namun juga membentuk opini publik mengenai citra rambut gondrong itu sendiri. pembentukan opini publik yang dilakukan Soeharto pada masa itu adalah dengan memanfaatkan media massa. Media massa pada zaman itu memiliki kekuatan yang sangat besar karena TVRI merupakan satu-satunya saluran televisi yang dapat diakses masyarakat, sehingga konstruksi pemerintah orde baru terhadap citra rambut gondrong benar-benar melekat di benak masyarakat. Terbukti, meskipun orde baru sudah tumbang 16 tahun yang lalu, banyak masyarakat yang masih mengamini citra rambut gondrong sesuai konstruksi pemerintah orde baru.
Dari pemaparan diatas, terlihat pergeseran-pergeseran orientasi gaya rambut gondrong. Mulai dari simbol kewibawaan di zaman kerajaan nusantara, simbol perjuangan kaum muda di zaman kolonial, tudingan kontra-revolusi yang dilayangkan soekarno hingga pelambang perlawanan masa orde baru. Bagaimana dengan orientasi gondrong hari ini? Saya melihat rambut gondrong hari ini tidak berada pada tataran simbolis yang merepresentasikan apa-apa lagi, tapi hanya sekedar kode fisik yang menjadi pilihan tiap-tiap individu.
Identitas
yang berhenti pada tataran artefak
Kaum modern berpendapat bahwa identitas diri
seseorang dapat dilihat dari artefak yang ia gunakan, karena artefak ini
kemudian memberikan kode fisik yang dapat membantu untuk mengasosiasikan
identitas. Namun, sesuai kritik kaum posmodern terhadap konsep identitas yang
ditawarkan kaum modern, bahwa identitas hanya berhenti pada tataran artefak.Ketika
banyak orang yang berfikir bahwa membentuk identitas itu semudah menyamakan
artefak, maka yang terjadi hanyalah kode-kode fisik yang tidak lagi menjadi
pelambang apa-apa, sebuah kode tanpa esensi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa generasi saat ini adalah generasi yang serba instan yang serba praktis. Sikap instan ini juga terlihat dari upaya untuk menyamakan kode fisik, yang mana upaya ini sendiri lah yang nantinya akan membunuh esensi dari sebuah kode fisik.
Misalnya, ketika banyak senimanpapan atas yang memanjangkan rambut, kaos oblong dan jeans sobek, akan banyak orang yang ingin dianggap sebagai seniman professional yang kemudian menyamakan kode fisiknya dengan memanjangkan rambut, memakai kaos oblong dan jeans sobek. Seolah-olah mereka lupa bahwa seniman dilihat dari karyanya, bukan dari gaya berpakaian. Disinilah pemikiran serba instan itu mengambil perannya, mereka yang mengikuti pola pikir kaum modernitas berharap dengan menyamakan kode fisik kemampuan dan identitas diri itu akan serta-merta muncul. Bukan sebuah hal yang masuk akal ketika rambut gondrong kemudian dijadikan alat kodifikasi dengan harapan untuk menjadi sosok tertentu dengan begitu praktis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa generasi saat ini adalah generasi yang serba instan yang serba praktis. Sikap instan ini juga terlihat dari upaya untuk menyamakan kode fisik, yang mana upaya ini sendiri lah yang nantinya akan membunuh esensi dari sebuah kode fisik.
Misalnya, ketika banyak senimanpapan atas yang memanjangkan rambut, kaos oblong dan jeans sobek, akan banyak orang yang ingin dianggap sebagai seniman professional yang kemudian menyamakan kode fisiknya dengan memanjangkan rambut, memakai kaos oblong dan jeans sobek. Seolah-olah mereka lupa bahwa seniman dilihat dari karyanya, bukan dari gaya berpakaian. Disinilah pemikiran serba instan itu mengambil perannya, mereka yang mengikuti pola pikir kaum modernitas berharap dengan menyamakan kode fisik kemampuan dan identitas diri itu akan serta-merta muncul. Bukan sebuah hal yang masuk akal ketika rambut gondrong kemudian dijadikan alat kodifikasi dengan harapan untuk menjadi sosok tertentu dengan begitu praktis.
Bagaimana hari ini?
Gondrong merupakan salah satu identitas subculture
di tengah masyarakat yang masih kental stigma negatif atas rambut gondrong itu
sendiri. stigma negatif yang berkembang di masyarakat banyak dipengaruhi oleh
konstruksi masa orde baru dalam membentuk realitas mengenai rambut gondrong.
Terlepas dari orde baru selama 16 tahun, nampaknya belum bisa menghapuskan
stigma masyarakat mengenai rambut gondrong. Saat ini rambut gondrong hanya
merupakan kode fisik yang tidak lagi berada pada tataran simbolis.
[2]Keliat, Budi. 1992. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. Jakarta: EGC.
[3]Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, Dan Praktik.Edisi
4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC.
[5]Sastroamidjojo,
Ali. 1974. Tonggak-tonggak Perjalananku
[6]Yudhistira, Aria Wiratma.
2010. Dilarang Gondrong!. Jakarta:
Marjin Kiri.
0 comments