Politik Ekologi Sosial, Munisipalisme Libertarian - Janet Biehl
09:54
Judul : Politik Ekologi
Sosial, Munisipalisme Libertarian
Penulis : Janet Biehl
Penerbit : Daun Malam
"Munisipalisme libertarian mengembangkan
sejenis demokrasi yang bukan semata-mata merupakan kekuasaan Negara. Demokrasi
yang dikembangkannya adalah demokrasi langsung — di dalamnya semua warga dalam
komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan
dan pengambilan keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda
dengan yang dilakukan Negara untuk mereka."
Munisipalisme libertarian adalah salah satu di
antara sekian banyak teori politik yang memusatkan perhatian pada
prinsip-prinsip dan praktik-praktik demokrasi. Berbeda dengan kebanyakan teori
lainnya, munisipalisme libertarian tidak menerima gagasan konvensional bahwa
Negara beserta sistem pemerintahan yang menjadi khas negara-negara Barat dewasa
ini adalah betul-betul demokratis. Sebaliknya, teori ini menganggap
negara-negara tersebut sebagai Negara-Negara republik yang berkeinginan menjadi
demokratis. Negara-Negara republik memang lebih “demokratis” ketimbang
jenis-jenis Negara lainnya seperti monarki dan kediktatoran, karena Negara-Negara
macam ini memiliki berbagai macam lembaga perwakilan.
Namun, Negara-negara ini mendirikan struktur
dominasi tempat segelintir orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada
hakikatnya, secara struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum.
Dalam kenyataannya, ia ditegakkan di atas orang-orang biasa, laki-laki dan
perempuan. Ia menjalankan kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan-keputusan
yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaannya pada akhirnya toh bersandar
pada kekerasan. Negara juga melegalkan penggunaan monopoli dalam bentuk
angkatan bersenjata dan kepolisian. Dalam struktur tempat kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata, demokrasi adalah hal yang mustahil. Ini
jauh dari pewujudan kedaulatan rakyat. Bahkan, sebuah Negara republik bertentangan
dengan kedaulatan rakyat.
Munisipalisme libertarian mengembangkan sejenis
demokrasi yang bukan semata-mata merupakan kekuasaan Negara. Demokrasi yang
dikembangkannya adalah demokrasi langsung — di dalamnya semua warga dalam
komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan
dan pengambilan keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda
dengan yang dilakukan Negara untuk mereka.
Tidak seperti teori-teori “demokrasi” perwakilan,
munisipalisme libertarian membedakan secara tajam antara politik dengan
ke-Negara-an. Dalam penggunaannya yang konvensional, konsep-konsep ini memang
agak mirip. Politik, sebagaimana kita pahami seperti biasanya, merupakan
komponen penting bagi sistem perwakilan dalam pemerintahan. Ia adalah
seperangkat prosedur dan praktik yang dengannyalah “rakyat” memilih sekelompok
kecil individu — para politisi — untuk berbicara dan mewakili mereka dalam
lembaga legislatif atau eksekutif.
Para politisi ini, dalam politik sebagaimana yang
sering kita pahami, berafiliasi dengan partai-partai politik, yang merupakan
ikatan-ikatan sekelompok orang yang memiliki kesamaan komitmen dalam filosofi
atau agenda politik tertentu. Para politisi yang menjadi anggota suatu partai,
dalam teori, berbicara demi agendanya dan mengembangkan filosofinya. Seiring
makin dekatnya pemilihan umum bagi terbentuknya pemerintahan, berbagai partai
mengedepankan para politisinya sebagai kandidat dan, dengan dibantu oleh banyak
konsultan, menjalani kampanye pemilihan dengan tujuan membujuk warga untuk
memilih mereka. Tiap partai menggembar-gemborkan kelayakan calonnya
masing-masing untuk menduduki jabatan dan mengolok-olok para saingannya. Selama
kampanye, para kandidat mengungkapkan posisinya masing-masing terhadap isu-isu
penting saat itu, yang memperjelas perbedaan di antara mereka, agar para
pemilih memahami pilihan-pilihan yang mereka miliki.
Para pemilih — yang sekarang telah menjadi
“electorate” (orang yang berhak memilih dalam pemilihan) — setelah dengan
hati-hati menimbang isu-isu tersebut dan secara jernih menilai kualitas setiap
kandidat, menetapkan pilihannya dengan penuh harap. Para kontestan yang
posisinya paling sesuai dengan mayoritas dianugerahi jabatan yang mereka
dambakan. Ketika memasuki koridor pemerintahan, para pemegang jabatan ini
diyakini akan bekerja tanpa kenal lelah atas nama mereka yang memilihnya (yang
belakangan mendapat sebutan lain yaitu “konstituen”). Mereka dengan saksama
mematuhi komitmen yang telah mereka akui selama kampanye pemilihan. Saat mereka
memberikan suaranya dalam pembuatan undang-undang atau membuat keputusan,
loyalitas utama mereka, sebagaimana mereka katakan kepada khalayak, diarahkan
pada posisi yang didukung oleh para “konstituen” mereka. Hasilnya, tatkala
perundang-undangan atau peraturan pemerintah atau apa pun jenis ketetapan lain
telah diputuskan, maka dikatakan itu semua mencerminkan keinginan mayoritas
warga.
Pasti jelas bagi pembaca manapun bahwa sketsa ini
adalah ilusi kelas sipil, dan bahwa karakter “demokratis”-nya tidaklah masuk
akal. Jauh dari mewujudkan keinginan rakyat, para politisi sebenarnya adalah
kaum profesional yang kepentingan kariernya terletak pada jalur peraihan
kekuasaaan, atau lebih tepatnya, dengan dipilih atau diangkatnya mereka dalam
jabatan yang lebih tinggi. Kampanye pemilihan yang mereka jalankan, yang hanya
sebagian atau bahkan sedikit sekali mencerminkan kepentingan khalayak, acap
memanfaatkan media massa untuk memengaruhi dan memanipulasi kepentingan mereka,
atau bahkan membangkitkan kepentingan-kepentingan palsu sebagai sesuatu yang
membingungkan. Sifat manipulatif sistem ini telah sangat dikenal dalam
pemilihan-pemilihan di AS akhir-akhir ini, yang di dalamnya kampanye-kampanye
politik yang didanai oleh keuangan yang besar semakin memfokuskan diri pada
isu-isu yang sepele tetapi secara emosional mudah berubah dengan mengalihkan
perhatian “electorate” (para pemilih) dan menutupi permasalahan mendasar yang
berpengaruh nyata terhadap kehidupan mereka. Program-program yang dijalankan
para kandidat lebih merupakan kekosongan, dipadati kebohongan dan kian lama
semakin tidak terkait dengan perilaku kandidat pada waktu mendatang setelah ia
menduduki jabatan.Sekali mereka memperoleh kedudukan, para politisi itu
sungguh-sungguh mengingkari komitmen yang telah mereka akui. Ketimbang
mengikuti kebutuhan orang-orang yang memberikan suaranya bagi mereka atau
orang-orang yang menjalankan kebijakan-kebijakan yang mereka dukung, kaum
politisi ini biasanya menganggap bahwa melayani kelompok-kelompok kepentingan
yang memiliki uang adalah lebih menguntungkan karena bisa melancarkan karier
mereka.
Mula-mula sejumlah besar uang diperlukan agar bisa
menjalankan kampanye pemilihan, dan karenanya para kandidat bergantung pada
kalangan donatur besar dalam upayanya memperoleh kedudukan. Sampai tingkat
tertentu, mereka yang terpilih mewakili rakyat besar kemungkinan justru
menjalankan kebijakan-kebijakan yang melindungi kepentingan orang-orang kaya
ketimbang kepentingan kelompok yang mereka wakili. Kaum politisi menjalani
pilihan-pilihan demikian bukan karena mereka adalah “orang jahat” sebab
kebanyakan dari mereka pada mulanya memasuki bidang layanan publik dengan
motivasi idealistis. Mereka membuat pilihan-pilihan ini karena mereka telah
menjadi bagian dari sistem interaksi kekuasaan yang perintah-perintahnya telah
berkuasa atas diri mereka. Sistem interaksi kekuasaan ini, tiada lain adalah
Negara itu sendiri, yang didominasi oleh keuangan yang besar. Dengan
menjalankan fungsinya berdasarkan kerangka ini, mereka sama-sama bertujuan
mengamankan dan mempertahankan monopoli kekuasaan bagi sekelompok elit
profesional, juga melindungi dan menjalankan kepentingan-kepentingan kaum kaya,
ketimbang tujuan-tujuan yang lebih umum, yaitu memberdayakan orang banyak dan
meredistribusikan kekayaan.
Partai-partai politik yang dengan inilah para
“politisi” sering dikaitkan, pada gilirannya bukanlah merupakan
kelompok-kelompok warga berpikiran luas yang berbagi pandangan politik. Mereka
pada dasarnya adalah birokrasi top-down (atas-bawah) yang tersusun secara
hierarkis yang berusaha memperoleh kekuasaan Negara bagi diri mereka sendiri
melalui para kandidat. Kepentingan utama mereka adalah kepentingan faksi,
kekuasaan dan mobilisasi, bukan kepentingan demi kesejahteraan sosial para
“konstituen” dari pemegang jabatan — kecuali jika kepentingan konstituen
kebetulan beriringan dengan kepentingan orang-orang yang menambang suara. Maka
tidak masuk akal jika dikatakan bahwa jenis-jenis partai politik ini berasal
dari politik lembaga atau terbentuk darinya. Jauh dari mengungkapkan keinginan
para warga, fungsi partai tepatnya adalah membuat politik lembaga,
mengendalikan dan memanipulasinya, juga mencegahnya agar tidak mengembangkan
keinginan yang mandiri. Sesengit apa pun partai-partai politik itu bersaing
satu sama lain dan mungkin berselisih dalam beberapa isu tertentu, semuanya
memiliki kesamaan dalam menyetujui kehadiran Negara dan beroperasi menurut
parameter di dalamnya. Setiap partai yang terlempar dari kekuasaan sebenarnya
adalah “hantu” yang tengah mengintai Negara untuk merebut kekuasaan — sebuah
Negara-dalam-penantian.
Menyematkan label ‘politik’ pada sistem demikian
adalah kesalahan-penamaan yang gamblang. Sistem ini mestinya lebih tepat
dinamai kenegaraan (Statecraft). Dengan sifatnya yang profesional, manipulatif
dan imoral, sistem elit dan massa ini berkedok demokrasi, menghina ideal
demokrasi yang secara sinis seringkali mereka ikrarkan dalam seruan berkala
kepada para “pemilih”. Jauh dari memberdayakan rakyat sebagai warga,
ke-Negara-an mensyaratkan pelucutan umum kekuasaan warga. Sistem ini
mengerdilkan warga menjadi sekadar “pembayar pajak,” “pemberi suara” dan
“konstituen,” seolah-olah mereka terlalu muda atau tidak berkemampuan untuk
mengelola urusan- urusan publik mereka sendiri. Warga diharapkan berfungsi
semata-mata secara pasif dan membiarkan para elit mencarikan jalan terbaik bagi
mereka. Mereka mesti berpartisipasi dalam “politik” terutama pada hari-hari
pemilihan ketika “kehadiran pemilih” memberikan legitimasi terhadap sistem itu
sendiri, juga pada waktu membayar pajak yang tentu saja guna membiayai sistem
tersebut. Dan sepanjang tahun, para ahli ke-Negara-an akan lebih senang jika
orang-orang cenderung lebih memusatkan perhatian pada urusan pribadi
masing-masing dan tak ambil pusing dengan aktivitas para “politisi.” Jika
orang-orang semakin bisa menanggalkan kepasifannya dan mulai berminat aktif
dalam kehidupan politik, mereka akan menciptakan masalah bagi Negara dengan
mengusik-usik perkara ketidakcocokan antara realitas sosial dengan retorika
yang menyertainya.
SETIAJI
PURNASATMOKO
*Penulis baru saja menerbitkan terjemahan berbahasa
Indonesia untuk buku karangan Janet Biehl yang berjudul “Politik Ekologi
Sosial: Munisipalisme Libertarian”. Buku ini membahas dimensi politik dari
gagasan utama ekologi sosial yang dikembangkan selama beberapa dekade oleh
Murray Bookchin, seorang teoretikus anarkis sosial. Ekologi sosial merupakan
puncak pemikiran selama rentang masa hidup Bookchin, yakni tentang kemungkinan
terbaik bagaimana masyarakat bisa mengubah hidupnya secara radikal dengan cara
yang manusiawi dan rasional lewat struktur kekuasaan di luar negara-bangsa.
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan
ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum
sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda
mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
0 comments