Beberapa minggu lalu seorang kawan lama
mengirimi saya buku. Judulnya, ‘Cerita Rakyat Halmahera’. Buku ini saya anggap
berharga. Bukan karena buah karyanya dan ayahnya, M Adnan Amal, tapi karena
ketertarikan saya akan bumi Maluku yang mengakar. Pertengahan 2010 saya
bertandang ke Maluku, tepatnya ke Ternate, Tidore, Halmahera, dan Morotai.
Itulah awal saya menginjakkan kaki di bumi Maluku dan menjadi ‘terikat’ sejak
kini.
Cerita Rakyat Halmahera,
karya M Adnan Amal & Miagina Amal, diterbitkan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Halmahera Utara, 144 hal, harga : Rp.60.000
Mulanya saya merasa bahwa kepulauan Maluku
itu sungguh eksotis. Saya mirip aliens yang terdampar di bumi dan memandang
segalanya tampak berbeda. Jalan-jalan yang lengang, manusia yang berbicara
dengan intonasi mirip berlagu, laut dan gunung berapi yang tumbuh berdampingan,
samping-menyamping, dan permasalahan yang tak pernah saya bayangkan bakal muncul
di bumi Jawa. Itu mulanya. Namun begitu mendalaminya, Maluku lebih dari
eksotis. Kepulauan di timur Indonesia ini menjanjikan banyak hal yang tak
terbayangkan. Mulai keberagaman budaya, bahasa, permasalahan sosial dan
lainnya. Mirip sumur pengetahuan yang tak pernah kering. Jadi mendapatkan buku
ini sungguh anugerah buat saya.
Nama M Adnan Amal sendiri saya kenal dari
beberapa bukunya, seperti ‘Kepulauan Rempah-Rempah, Ternate dan Tidore di
Maluku’. Mantan hakim ini justru memutuskan menjadi penulis setelah pensiun.
Semangatnya yang tinggi untuk terus menggali data sejarah Maluku Utara membuat
saya malu. Apalagi dia menulis bermodal bolpen dan buku tulis, sebelum disalin
anaknya si Wardah Amelia Amal ke dalam laptop. Bahkan di usianya yang lebih 80
tahun, Opa Adnan –begitu biasa dipanggil- masih merencanakan menulis beberapa
buku lagi. Saya jadi teringat akan Hana Rambe, si penulis novel Mirah dari
Banda itu. Biar tua namun produktif dan pantang menyerah. Selalu berusaha untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi sesama. Jiwa narsistis, mengagungkan
diri sendiri dan haus akan pujian, sudah meruap entah ke mana.
***
Buku yang dikirimkan kepada saya ini tipis
saja. Hanya 144 halaman, terdiri dari 15 fabel dan 9 dongeng. Fabel dan dongeng
ini hasil terjemahan Adnan Amal dari laporan berbahasa Belanda olh Van Dijken
dan MJ van Baarda yang diterbitkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Beruntunglah kita di masa lalu ada segelintir ilmuwan Belanda yang peduli pada
kekayaan folklore di Maluku. Kalau tidak, folklore di atas mungkin sudah
menguap entah ke mana.
Sudah banyak buku dongeng dan cerita rakyat
nusantara yang saya baca. Umumnya cerita rakyat yang diangkat berisi legenda,
kisah kepahlawanan, dongeng, atau mitos. Namun fabel dan dongeng yang dimuat
dalam buku ini belum pernah saya baca,atau dimuat di buku dongeng berbahasa
Indonesia manapun, atau dikisahkan di portal Indonesia manapun. Kisahnya
sendiri berkesan aneh, membingungkan, dan unik. Kadang malah tampak
sembarangan.
Misalnya pada fabel bertitel ‘Anjing dan
Pesta Kucing’, dikisahkan mengapa anjing selalu bermusuhan dengan kucing.
Rupanya ketika para kucing sedang berpesta, ada anjing datang mengganggu dan
merusak daun-daun palem sebagai wadah daging tikus. Daun palem yang menjadi
wadah makan saya rasa, merupakan ciri kedaerahan Maluku yang tak dijumpai di
daerah lain. Dia sebagai penanda khusus. Ada juga kisah mengapa nyamuk
bentuknya sekecil sekarang.
Fabel yang dikisahkan di sini lebih banyak
berisi pesan moral atau menjelaskan sebab terjadinya sesuatu. Hewan-hewan si
tokoh utama fabel tidaklah bertingkah seperti hewan masa kini. Namun mereka
bersikap mirip manusia. Misalnya ada babi yang dapat menangkap ikan, bahkan
mengasapinya untuk dimakan. Atau kucing yang perlu memasak daging tikus sebelum
dimakan. Juga kera yang dapat memakai sapu lidi, atau burung-burung yang perlu
membuat sagu. Pendek kata, kehidupan para hewan sungguh serupa dengan manusia
yang hidup di bumi Halmahera..
Sedang pada 9 dongeng yang ditampilkan,
beberapa di antaranya mewakili kisah klasik percintaan ala Cinderella seperti
dongeng Raja Biawak, atau Puti Kaboja dan Pangeran Cepaka, atau Tentang Ikan
Dodeke. Ini berarti kisah cinta memang universal dan diimpikan semua orang di
bumi ini. Isi dongeng berupa nasihat, pelajaran moral, serta absurditas. Saya
sebut absurditas semisal pada kisah ‘Orang-Orang Halmahera Zaman Dulu Membuat
Juanga’, dituturkan betapa sia-sianya ketika orang-orang berusaha membuat
sebuah perahu atau jung atau juanga.
Kisah yang agak absurd juga ada pada ‘Raja
Maluku, Air Susu Ibu, dan Tanaman Biara’. Entah apa yang ada dalam pikiran
penulis Belanda saat itu hingga memberi judul demikian. Padahal, si Raja Maluku
hanyalah nama anak kecil yang bandel, yang tak mau ditinggal ibunya sebentar
saja. Atau mengapa ibunya melarang anaknya memakan sayur biara pun tak
dijelaskan alasannya. Kebingungan semacam ini saya temukan pada beberapa kisah.
Menurut saya, hal ini karena si penulis terlalu berpegang teguh pada ‘adat
terjemahan’, menerjemahkan naskah Belanda apa adanya, lebih mengacu pada teks
dan bukan konteks. Andai si penulis mau agak luwes, mengadaptasi terjemahan
dari Bahasa Belanda tadi, tentu hasilnya akan maksimal.
Apa manfaat membaca fabel dan dongeng rakyat
semacam ini? Mengutip kata pembuka Jeanette Faurot –profesor jurusan Sastra dan
Bahasa China di Universitas Texas, Austin- dalam buku ‘Asian Pacific Folktales
and Legends’, mendengar atau membaca cerita rakyat dari berbagai masa dan
tempat dapat menjadi jendela untuk memahami manusia dari berbagai belahan
dunia, mengakrabkan pada apa yang sebelumnya tak dikenal, dan memahami apa yang
ada di luar kita.
Apalagi, kata Jeanette, folklore itu memberi
bentuk pada mimpi atau harapan seseorang. Itu sebabnya folklore menyampaikan
nilai, perintah, hiburan, dan mempersatukan sebuah kelompok. Folklore sejak
lama menjadi cara paling mendasar untuk mengikat sebuah kelompok, meneruskan
dan mewariskan tradisi dari generasi ke generasi, juga membagikan sejarah dan
kepercayaan bersama pada sebuah kelompok.
Folklore atau cerita rakyat di Indonesia
banyak mewujud dalam fabel, dongeng, mitos, atau kisah kepahlawanan. Cerita
rakyat ini diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Budaya lisan memang tumbuh subur di nusantara, terlebih negeri ini
mengalami penjajahan panjang, hampir 3,5 abad dengan beragam penjajah
–Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, Belanda- yang membuat jelata lambat
mengenal abjad. Hanya segelintir orang punya akses ke pendidikan resmi, bisa
membaca menulis. Ini sebabnya mengapa tradisi lisan serupa cerita rakyat tumbuh
subur dan melimpah.
Halmahera hanyalah satu dari sekitar 17000
pulau yang Indonesia miliki. Kisah dalam buku ini pun tak mewakili keseluruhan
daerah Halmahera, namun hanya dari Galela, Tobelo, Modole, dan Pagu. Itu
sebabnya, usai buku ini terbist, sang penulis akan mempersiapkan serangkaian
buku lanjutannya.
Jika sebuah pulau memiliki cerita rakyat yang
kaya, dapat dibayangkan betapa kayanya nusantara dengan dongeng, mitos,
legenda, dan sejenisnya. Apalagi Indonesia juga kaya akan bahasa daerah, yang
jumlahnya setara dengan banyaknya suku bangsa, yaitu sekitar 1128 suku dan
bahasa daerah. Lama mengalami penjajahan, membuat tradisi lisan nusantara lebih
mengakar ketimbang tradisi tulis. Ini memperkuat pengembangan dan penyebaran
tradisi lisan seperti cerita rakyat di atas.
Saya berharap semoga penerbitan cerita rakyat
dari berbagai daerah Indonesia semakin sering dilakukan. Dengan begitu, akan
memperkaya pengetahuan dan pemahaman kita akan suku, daerah, dan kebiasaan
daerah lain. Pemahaman keberagaman yang meluas, akan meredam konflik yang
dipicu SARA seperti yang kini kerap bermunculan.
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
Sumber Asli: https://othervisions.wordpress.com/2013/07/10/meredam-koflik-lewat-cerita-rakyat/#more-4575
Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.
Sumber Asli: https://othervisions.wordpress.com/2013/07/10/meredam-koflik-lewat-cerita-rakyat/#more-4575