Meredam Konflik Lewat Cerita Rakyat

17:45


Beberapa minggu lalu seorang kawan lama mengirimi saya buku. Judulnya, ‘Cerita Rakyat Halmahera’. Buku ini saya anggap berharga. Bukan karena buah karyanya dan ayahnya, M Adnan Amal, tapi karena ketertarikan saya akan bumi Maluku yang mengakar. Pertengahan 2010 saya bertandang ke Maluku, tepatnya ke Ternate, Tidore, Halmahera, dan Morotai. Itulah awal saya menginjakkan kaki di bumi Maluku dan menjadi ‘terikat’ sejak kini.
Cerita Rakyat Halmahera, karya M Adnan Amal & Miagina Amal, diterbitkan  Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Halmahera Utara,  144 hal, harga : Rp.60.000
Mulanya saya merasa bahwa kepulauan Maluku itu sungguh eksotis. Saya mirip aliens yang terdampar di bumi dan memandang segalanya tampak berbeda. Jalan-jalan yang lengang, manusia yang berbicara dengan intonasi mirip berlagu, laut dan gunung berapi yang tumbuh berdampingan, samping-menyamping, dan permasalahan yang tak pernah saya bayangkan bakal muncul di bumi Jawa. Itu mulanya. Namun begitu mendalaminya, Maluku lebih dari eksotis. Kepulauan di timur Indonesia ini menjanjikan banyak hal yang tak terbayangkan. Mulai keberagaman budaya, bahasa, permasalahan sosial dan lainnya. Mirip sumur pengetahuan yang tak pernah kering. Jadi mendapatkan buku ini sungguh anugerah buat saya.
Nama M Adnan Amal sendiri saya kenal dari beberapa bukunya, seperti ‘Kepulauan Rempah-Rempah, Ternate dan Tidore di Maluku’. Mantan hakim ini justru memutuskan menjadi penulis setelah pensiun. Semangatnya yang tinggi untuk terus menggali data sejarah Maluku Utara membuat saya malu. Apalagi dia menulis bermodal bolpen dan buku tulis, sebelum disalin anaknya si Wardah Amelia Amal ke dalam laptop. Bahkan di usianya yang lebih 80 tahun, Opa Adnan –begitu biasa dipanggil- masih merencanakan menulis beberapa buku lagi. Saya jadi teringat akan Hana Rambe, si penulis novel Mirah dari Banda itu. Biar tua namun produktif dan pantang menyerah. Selalu berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi sesama. Jiwa narsistis, mengagungkan diri sendiri dan haus akan pujian, sudah meruap entah ke mana.
***
Buku yang dikirimkan kepada saya ini tipis saja. Hanya 144 halaman, terdiri dari 15 fabel dan 9 dongeng. Fabel dan dongeng ini hasil terjemahan Adnan Amal dari laporan berbahasa Belanda olh Van Dijken dan MJ van Baarda yang diterbitkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beruntunglah kita di masa lalu ada segelintir ilmuwan Belanda yang peduli pada kekayaan folklore di Maluku. Kalau tidak, folklore di atas mungkin sudah menguap entah ke mana.
Sudah banyak buku dongeng dan cerita rakyat nusantara yang saya baca. Umumnya cerita rakyat yang diangkat berisi legenda, kisah kepahlawanan, dongeng, atau mitos. Namun fabel dan dongeng yang dimuat dalam buku ini belum pernah saya baca,atau dimuat di buku dongeng berbahasa Indonesia manapun, atau dikisahkan di portal Indonesia manapun. Kisahnya sendiri berkesan aneh, membingungkan, dan unik. Kadang malah tampak sembarangan.
Misalnya pada fabel bertitel ‘Anjing dan Pesta Kucing’, dikisahkan mengapa anjing selalu bermusuhan dengan kucing. Rupanya ketika para kucing sedang berpesta, ada anjing datang mengganggu dan merusak daun-daun palem sebagai wadah daging tikus. Daun palem yang menjadi wadah makan saya rasa, merupakan ciri kedaerahan Maluku yang tak dijumpai di daerah lain. Dia sebagai penanda khusus. Ada juga kisah mengapa nyamuk bentuknya sekecil sekarang.
Fabel yang dikisahkan di sini lebih banyak berisi pesan moral atau menjelaskan sebab terjadinya sesuatu. Hewan-hewan si tokoh utama fabel tidaklah bertingkah seperti hewan masa kini. Namun mereka bersikap mirip manusia. Misalnya ada babi yang dapat menangkap ikan, bahkan mengasapinya untuk dimakan. Atau kucing yang perlu memasak daging tikus sebelum dimakan. Juga kera yang dapat memakai sapu lidi, atau burung-burung yang perlu membuat sagu. Pendek kata, kehidupan para hewan sungguh serupa dengan manusia yang hidup di bumi Halmahera..
Sedang pada 9 dongeng yang ditampilkan, beberapa di antaranya mewakili kisah klasik percintaan ala Cinderella seperti dongeng Raja Biawak, atau Puti Kaboja dan Pangeran Cepaka, atau Tentang Ikan Dodeke. Ini berarti kisah cinta memang universal dan diimpikan semua orang di bumi ini. Isi dongeng berupa nasihat, pelajaran moral, serta absurditas. Saya sebut absurditas semisal pada kisah ‘Orang-Orang Halmahera Zaman Dulu Membuat Juanga’, dituturkan betapa sia-sianya ketika orang-orang berusaha membuat sebuah perahu atau jung atau juanga.
Kisah yang agak absurd juga ada pada ‘Raja Maluku, Air Susu Ibu, dan Tanaman Biara’. Entah apa yang ada dalam pikiran penulis Belanda saat itu hingga memberi judul demikian. Padahal, si Raja Maluku hanyalah nama anak kecil yang bandel, yang tak mau ditinggal ibunya sebentar saja. Atau mengapa ibunya melarang anaknya memakan sayur biara pun tak dijelaskan alasannya. Kebingungan semacam ini saya temukan pada beberapa kisah. Menurut saya, hal ini karena si penulis terlalu berpegang teguh pada ‘adat terjemahan’, menerjemahkan naskah Belanda apa adanya, lebih mengacu pada teks dan bukan konteks. Andai si penulis mau agak luwes, mengadaptasi terjemahan dari Bahasa Belanda tadi, tentu hasilnya akan maksimal.
Apa manfaat membaca fabel dan dongeng rakyat semacam ini? Mengutip kata pembuka Jeanette Faurot –profesor jurusan Sastra dan Bahasa China di Universitas Texas, Austin- dalam buku ‘Asian Pacific Folktales and Legends’, mendengar atau membaca cerita rakyat dari berbagai masa dan tempat dapat menjadi jendela untuk memahami manusia dari berbagai belahan dunia, mengakrabkan pada apa yang sebelumnya tak dikenal, dan memahami apa yang ada di luar kita.
Apalagi, kata Jeanette, folklore itu memberi bentuk pada mimpi atau harapan seseorang. Itu sebabnya folklore menyampaikan nilai, perintah, hiburan, dan mempersatukan sebuah kelompok. Folklore sejak lama menjadi cara paling mendasar untuk mengikat sebuah kelompok, meneruskan dan mewariskan tradisi dari generasi ke generasi, juga membagikan sejarah dan kepercayaan bersama pada sebuah kelompok.
Folklore atau cerita rakyat di Indonesia banyak mewujud dalam fabel, dongeng, mitos, atau kisah kepahlawanan. Cerita rakyat ini diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya lisan memang tumbuh subur di nusantara, terlebih negeri ini mengalami penjajahan panjang, hampir 3,5 abad dengan beragam penjajah –Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, Belanda- yang membuat jelata lambat mengenal abjad. Hanya segelintir orang punya akses ke pendidikan resmi, bisa membaca menulis. Ini sebabnya mengapa tradisi lisan serupa cerita rakyat tumbuh subur dan melimpah.
Halmahera hanyalah satu dari sekitar 17000 pulau yang Indonesia miliki. Kisah dalam buku ini pun tak mewakili keseluruhan daerah Halmahera, namun hanya dari Galela, Tobelo, Modole, dan Pagu. Itu sebabnya, usai buku ini terbist, sang penulis akan mempersiapkan serangkaian buku lanjutannya.
Jika sebuah pulau memiliki cerita rakyat yang kaya, dapat dibayangkan betapa kayanya nusantara dengan dongeng, mitos, legenda, dan sejenisnya. Apalagi Indonesia juga kaya akan bahasa daerah, yang jumlahnya setara dengan banyaknya suku bangsa, yaitu sekitar 1128 suku dan bahasa daerah. Lama mengalami penjajahan, membuat tradisi lisan nusantara lebih mengakar ketimbang tradisi tulis. Ini memperkuat pengembangan dan penyebaran tradisi lisan seperti cerita rakyat di atas.
Saya berharap semoga penerbitan cerita rakyat dari berbagai daerah Indonesia semakin sering dilakukan. Dengan begitu, akan memperkaya pengetahuan dan pemahaman kita akan suku, daerah, dan kebiasaan daerah lain. Pemahaman keberagaman yang meluas, akan meredam konflik yang dipicu SARA seperti yang kini kerap bermunculan.

Ket: Baku Soya mengkopi tulisan ini karena menganggap penting untuk diarsipkan, karena buku tersebut belum sempat dimiliki untuk diulas menurut perspektif Baku Soya. Maka, silahkan anda mengunjungi situs asal tempat tulisan tersebut bercokol.

Sumber Asli: https://othervisions.wordpress.com/2013/07/10/meredam-koflik-lewat-cerita-rakyat/#more-4575


You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images