Mural untuk Pemula
Sebagai aktifitas
subkultur dari narasi seni moderen yang muncul di tengah masyarakat urban, awal
kemunculannya pun tidak berlangsung begitu saja, akan tetapi ada periode dimana
seni mural menjadi salah satu alternatif seniman dalam mengekspresikan realitas
sosial di lingkungan masyarakat kota.
Sebagaimana praktek
sang maestro dunia, Pablo Picasso dapat menunjukkan sebuah maha karya kepada
dunia tentang potret kota Guernica yang dibombardir oleh tentara Nazi berafiliasi
dengan kelompok nasionalis Spanyol. Tragedi tersebut menelan korban sipil yang cukup
banyak terutama perempuan dan anak-anak. Informasi pun menyebar ke Paris tempat
dimana Picasso meluapkan hasrta kesenian bersama rivalnya Henri Metise pada
pameran perdana mereka, pada saat bersamaan Picasso kemudian memilih untuk
meninggalkan pameran dan menggarap karya mural bertajuk Guernica.
Ketika melihat lukisan
“Guernica” maka kita akan menemukan
gaya khas dari Picasso yang konsisten dengan aliran kubisme alamiah dengan
pendekatan geometris dasar pada bidang dua dimensi dan pewarnaannya, Picasso mengkombinasikan
skema monokromatik dengan warna abu-abu, biru dan oker. Dengan kecerdikan
teknis dan metode yang matang yang mengantarkan Picasso menjadi tokoh seni rupa
paling berpengaruh di dunia, serta lewat lukisan “Guernica” gagasan mural art
dikenal dan menjadi sebuah sayap utama dalam seni moderen.
Fenomenalnya “Gurnica” mampu mendobrak lahirnya aliran-aliran
estetik baru dalam seni rupa Barat. Saat jelang dua tahun setelah tutup usia
sang maestro, anak berambut ikal dari keturunan Haiti berumur 16 tahun bersama
ibunya berdiri dihadapan mural “Gurnica” dan
sangat tertegun menikmati sihir maha karya tersebut. Dialah, Jean-Michel Basquiat
dalam potert film fiksi biografi “Basquiat”
yang di perankan oleh Jeffrey Wrigt. Pada usia yang sangat muda tersebut, Basquiat telah menghasilkan banyak karya mural
yang terpajang menghiasi dinding tembok kota Soho lalu bersama dengan karibnya
Al Dias membuat sebuah karya grafiti bertuliskan “SAMO IS DEAD”. Tentunya Basquiat
banyak meyerap inspirasi dari karya Picasso sebagai fondasi utama karya
garfittinya sekaligus responnya terhadap polemik modernisme akhir menuju
pascamodernisme awal dengan menghadirkan gaya ekspresionisme sebagai protes
terhadap dinamika sosial-politk saat itu.
Berbeda dengan
sang maestro yang pernah mencicipi pendidikan seni formal, Basquiat tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Olehnya itu, setiap karya yang menghiasi didnding tembok memiliki unsur keseimbangan
dan spontanitas dan tentunya muatan kritik yang terkandung dalam karya-karyanya
sehingga dibeberapa kalangan seniman menyebut sebagai Neu Wilden (yang liar) disamping kehidupan yang liar sebagai
manusia kardus, refleksinya pun mempengaruhi setiap goresan tangan di tembok
gedung Soho.[1]
Mengawali karir
sebagai seniman jalanan sudah tentu membuat Basquiat harus mencari cara agar karyanya bisa
masuk dalam pameran bergengsi, setidaknya dapat menemukan penggemarnya. Setelah
psroject “SAMO IS DEAD” menghiasi dinding tembok Soho. Setahun berikutnya
bertepatan musim gugur 1982, Basquiat
mengunjungi bengkel seni factory
miliki Andi Warhol legenda pop cultur, sebenarnya
perjumpaan tersebut atas inisiasi Bruno Bischofberger rekan Warhol asal zurich yang
sejak awal tertarik pada kejeniusan Basquiat lalu berkenang mengenalkan kepada
Warhol yang memiliki akses pada kurator ternama saat itu.
Sebagaimana
dalam adegan film “Bisquiat” pertemuan perdana itu, lelaki dengan corak rambut
gimbal itu mengajukkan pertanyaan, “berapa
lama waktu yang bisa dibutuhkan untuk bisa terkenal?
Pria kulit putih
yang ditanya itu lantas menjawab, “Empat
tahun. Enam untuk bisa jadi kaya.”
Sejak saat itu
karya kolaborasi lahir selama berlangsungnya kerja sama antara Basquat dan
Warhol. Pada tahun 1985, karya bertajuk Arm
and Hammer II dirilis. Secara garis besar Arm and Hammer II memiliki irisan yang berbeda dari segi karya,
Warhol dengan gaya pop art yang
berkontras tinggi dipadukan dengan gaya ekspresionis oleh Basquiat. Setahun berselang, karya kolaborasi
kedua dengan judul Ten Punching Bags (Last
Supper) dipamerkan di Milan atas permintaan Alexander Lolas seorang kurator
internasional. Sebagai penjamuan terakhir atas permintaan tersebut Warhol dan
Bisquat menjelma lalu memadukan gagasan perlawan terhadap segala penindasan
atas nama idiologi.[2]
Dalam beberapa
literatur menyebutkan bahwa Basquiat
sangat mengidolakan Warhol, serta termotivasi agar karyanya dapat diterima
publik dengan sokongan figur seorang Warhol. Begitupula sebaliknya, Warhol
sangat mengagumi anak muda seperti Basquiat yang tidak kehabisan ide
pemberontakan. Olehnya, relasi antara Basquiat dan Warhol disebut sebagai relasi bromance, dan ikatan tersebut menurut Victor Bockris dalam Warhol: A Biography (1989)
adalah melambangkan “simbiosis mutualisme”. Sampai saat setelah wafatnya Warhol
pada tahun 1984, menjadikan Basquiat
terpukul dan pada akhirnya, obat-obatan menjadi pelampiasan yang berujung
kematian pada tahun 1988. Usianya masih cukup muda menginjak 27 tahun.[3]
Diantara rivalitas Pablo Picasso dan
Henri Matisse di Paris, ternyata ada pula “pernikahan gila dunia seni” anatara Jean-Michel
Basquiat dan Andi Warhol di Amerika yang
kemudian mewarnai sejarah peradaban seni rupa moderen terutama genre pop art dan mural art yang sampai saat ini praktek lukisan mural dapat dinikmmati
setiap tembok kota-kota dunia, dan produk spanduk, pamflet, browsur, stiker
mewakili praktek pop art yang bisa ditemukan
kala partai “marjinal” melakukan kampanye.
Mural untuk Perempuan
Setidaknya terdapat dua irisan penting
dalam melihat perhelatan kesenian kita, khusunya seni lukis mural. Yang pertama
adalah, bagaiman seni lukis mural dijadikan sebagai medium untuk berlangsungnya
kegiatan artistik dan yang kedua, mengisi isu yang bergizi kedalam seni lukis mural
sebagai agenda distribusi kesadaran masyarakat urban. Pandangan tersebut
bergantung pada konsepsi kita terhadap seni mural, apakah mentok sebagai sebuah
karya seni yang memiliki unsur estetik, ataukah mampu memadukan antara unsur estetik
dan unsur kedalaman makna (isu-isu perempuan).
Dengan memanfaatkan tembok yang berada
di sudut-sudut kota maupun tengah-tengah akses keramaian, masyarakat dari
pelbagai usia dengan mudah melihat lalu mencermati dengan cara mereka sendiri.
Kesannya adalah masyrakat lebih rilex dalam mengakses karya seni dibanding
dengan mengunjungi galeri dan Museum seni
tertentu. Masyarakat juga tentunya tidak terkoptasi dengan seni yang bernuansa
elit yang mengharuskan apresiasinya hanya pada ruang tertentu dan bahkan terkesan
kaku dalam perayaannya, pada akhirnya sebahagian masyarakat marjinal seperti
kaum miskin kota yang tergolong dalam masyarakat ekonomi bawah tidak mempunyai
kesempatan dan tentunya merasa minder atas nuansa perayan kesenian seperti itu.
Seni lukis mural hakikatnya dapat mengakomodir irisan (seni untuk rakyat) atau
(seni untuk publik) yaitu karya seni yang dapat dirayakan bersama-sama di semua
kalangan masyarakat.
Setiapa karya seni memiliki kekuatan
sugesti yang kuat, energi yang terkandung didalam pun sangat berimplikasi lalu menyasar
ruang instuisi seseorang. Apalagi lukisan tersebut terpajang bebas di ruang-ruang
publik yang tidak mengenal usia pandang, suda tentu dari segi artistik menyenangkan.
Apalagi dalam prespektif tata ruang kota
yang mengidamkan wajah kota asrih, bersih, dan nampak pula beragam lukisan menempel
di dinding (tembok). Alih-alih pemerintah kota tidak repot menggelontor
anggaran agar dapat membeli cat dan
mewarnai seluruh isi tembok yang penuh dengan lumut dan karatan. Ah, pemerintah
kota lebih sudi memberi anggaran untuk memajang papan iklan kesuksesan wali
kota atau memberi restu kepada partai politik untuk memajang spanduk kandidat
yang bikin muak itu. Ditambah lagi propaganda marketing produk multinasional dan
impor yang memonopoli kehidupan masyarakat pada umumnya. Fanomena tersebut
dapat ditemui diberbagai kota di indonesia dengan berbagai slogan yang meracuni
otak.
Fanomena lain dapat ditemukan pada
perkembangan arus kapitalisme lanjut, dimana ikla produk industri kapitalis
memenuhi ruas jalan disetiap kota. Bayangkan saja setiap hari dalam rutinitas, mulai
dari rumah sampai di ruas-ruas jalan selalalu disuguhkan dengan pemandangan
iklan shampoo, dan handphon yang menggambarkan seorang
perempuan cantik sedang mengurai rambutnya usai menggunakan shampoo pantene lalu sambil berdiri memegang
iphon keluaran terbaru dengan warna
mengkilap mengikuti warna kulitnya yang “aduhai”. Sudah tentunya siklus
tersebut dapat menanamkan mindset masyarakat
terhadap sebuah kehidupan yang ideal, dimana steriotip yang muncul bahwa perempuan
tidak dikatan cantik kalau tidak memiliki rambut yang bagus dan atau memiliki
warna kulit cerah. Akhirnya masyarakat dikonstruk untuk meningkatkan daya beli
dan hasrat untuk memiliki yang melampaui nalar antara “keinginan” dan
“kebutuhan”. Melalui objek perempuan juga serasa ekspansi dan propaganda
kepitalis benar-benar jitu menyasar nafsu manusia untuk selalu memproyeksikan
diri menjadi manusia hiperealitas alias masyarakat konsumtif pasif.
Konsekwensi ril dari perkembangan kapitalisme
lanjut adalah munculnya stigma yang merembek ke berbagai sektor masyarakat
kontemporer. Terutama pada sektor perempuan yang menjadi ikon di stiap
instrumen produk kapitalis. Subjek perempuan terlihat sangat radikal didehumanisasi
lewat penampakan iklan di televisi, koran, majalah, spanduk, baliho, binner, dan
teknologi informasi berbasis komputer dan gadget. Pengkodeaan tersebut menunjukkan
adanya pencitraan negatif, diantaranya dalam bentuk subordinatif dan
eksploitatif yang kemudian merepresentasikan patologi idiologi gender. Pada kasus
ini terkait tiga hal pokok perempuan, yang pertama, adalah persoalan
eksploitasi stereotip daya tarik seksualitas perempuan. Kedua, terkait
eksplotitasi stereotip seksualitas perempuaan yang kemudian memunculkan
stereotip turunan seperti pandangan terhadap segenap organ tubuh perempuan.
Serta ketiga, yang tidak kalah menonjol adalah eksploitasi stereotip
domestikisasi atau pengiburumahtanggaan.[4]
Sederhananya, perempuan masi belum memiliki
peran penting yang setara dengan laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan.
Dimana perempuan rupanya masi dipandang sebagai representasi kodrati yang menempatkan
perempuan sebagai subjek rumahan sementara laki-laki yang kemudian menguasai
alat-alat produksi. Perempuan lalu direduksi menjadi manusia kelas dua dalam
relasi sosial maupun keluarga, karena dianggap tidak memiliki kekuatan fisik
yang kuat seperti laki-laki. Maka, perannnya pun hanya sebatas di rumah
mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak (domestikisasi) sebagaimana yang
ditunjukkan pada era revolusi industri. Sementara pada era kapitalisem
yang barbar ini, kodrat perempuan hanya berkisar anatar kasur-dapur-sumur,
menjadi seorang putri-istri-ibu, lalu kemudian diperluas menempati berbagai
perusahan atau pekerja upahan yang gajinya pas-pasan. Secara dialektis kita
dapat menelaah bahwa bentuk eksploitasi perempuan malah lebik kompleks anatar
keterlibatan perempuan dalam proses produksi dan reproduksi yang ternayata
sarat dengan unsur penindasan dengan berbagai macam bentuk.
Lalu kemudian dengan mencuaknya kasus
pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan serangkaian kasus asusila
lainnya, membuat perempuan harus mendorong diri secara otonom untuk bersolidaritas
melawan ketertindasan dalam garis politik yang independen. Sebagaiman dalam
tajuk “mural untuk perempuan” sekiranya secara represif menjadi medium yang tepat bagi perjuangan perempuan
untuk mengkampanyekan kesadaran atas kedirian dan pilihan politik yang selama
ini diabaikan oleh yang mendominasi (laki-laki). Dalam “mural untuk perempuan” sekurang
melibatkan lima puluh perempuan dari berbagai usia dengan beragam sketsa gambar
sudah tentunya sarat dengan muatan ekspresi atas masalah-masalah seputar
perempuan, khusunya di maluku utara dan tentunya kota Ternate sebagai pusat
perhelatan seni mural berlangsung.
Perempuan Bicara Perempuan
“SENIMAN menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan
ketiadaan,” Emiria Sunassa Wama′na Putri Al Alam
Mahkota Tidore gelar Emma Wilhemina Parera
Seorang perempuan nampak santun dan tersenyum menawan berdiri
dengan sedikit membongkok seperti seorang putri duyun yang sedang membengkokkan
kaki kala bersandar di tepian pantai. Dengan paras yang sangat menawan terdapat
setangkai bunga berwarna putih menempel di telinga dengan model rambut sanggul
(konde) kebelakang, kebaya warnah putih menjadi pilihan yang cocok dikenakan sebagai
satu kesatuan dengan bunga yang dilettakkan di telinga. Dibagian pinggul sampai
menyentuh mata kaki dibalut seutas sarung berwarna kolaboratif antara biru muda
dan kuning, lengkap dengan sendal yang pernah dipakai oleh perempuan berdarah
biru. Rupanya dengan postur sedikit menunduk ternyata perempuan tersebut memegang
sebuah payung berwarna merah darah mengarah kesamping kiri atas sembari memulai
sebuah perjalanan melewati jalan yang tak beraspal. Disamping kiri jalan,
terdapat terhampar rumput hijau serta sebuah danau kecil berwarna biru sebagai
bentuk penyempurnaan figur perempuan yang sering disematkan dengan naluri keindahan.
Itulah potret lukisan figuratif dengan judul “wanita berpayung” yang dilukiskan diatas canvas berukuran 155 cm x 80 cm yang
dibuat sekitar tahun 1957 lewat tangan seorang perupa perempuan pertama Indonesia
bernama Emiria Sunassa yang belakang ini diketahuia berasal dari negeri Kie
Matubu (kesultanan Tidore) .[5]
Lewat perkataan fenomenalnya, seolah Emira hadir dari “ketiadaan”
lalu kemudian menjadi “ada”, dan dari “ketiadaan” sosok Emiria termanifestasi
dengan segala yang-ada dalam pengalaman hidupnya. Rupanay Emiria sengat
memahami term tersebut dengan menemukan kediriannya lewat suasana hati (mood), karena suasan hati membuat
emiria akan menyingkap sesuatu yang belum tertemukan. Dalam suasana hati penuh
cinta emiria menemukan berbagai hal menjadi penuh kasih, warna, makna, ketulusan,
dan kemudian mendorong naluria estetik-nya untuk dituangkan dalam setiap ayunan
kwas yang ia pegang. Dalam karirnya yang singkat, emiria berhasil meng-ada-kan beberapa
karya yang bersentuhan dengan tema seputar perempuan dan tradisi lokal, seperti
pada lukisan berjudul “poteret wanita tua”,
“pengantin dayak”, “wanita sulawesi”, dan “wanita berpayung”.
Sebagaiman pada lukisan “pengantin
Dayak” menunjukkan emiria sangat lihai dan jenius dalam pemilihan warna merah
jambu dan coklat tua yang mengangkat figur perempuan dari suku dayak yang
sedang merayakan pernikahan dengan duduk berbaris mengenakan pakaian khas suku dayak.
Lukisan tersebut mendapat pujian dari kalangan perupa ternama periode pertama
seperti Sudjojono
yang mengatakan emiria sebabagi pelukis perempuan yang “genius”.
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh emiria adalah suatu kejadian
yang luar biasa dalam perjalan sejarah perempuan Indonesia. khususnya figur
perempuan sebagai perupa tentunya sesuatu yang sulit ditemui pada periode awal bangsa
ini, dengan kehadiran Emiria sebagai perupa perempuan yang memfokuskan diri
pada isu-isu seputar perempuan dan budaya lokal tentunya mendapatkan tempat
khusus dan istemewa sebagai pelaku seni yang gigih memperkenalkan pentingnya
mempertahankan tradisi dan budaya lokal sebagai karakter khas manusia Indonesia.
Pada tataran ini, emiria menawarkan kepada seluruh perempuan bahwa apa yang tersisah
dari kebudayaan kolonialsime ialah tercabutnya akar kebudayaan perempuan lokal
dimana memperlakukan perempuan sebagai budak seks pada setiap orde
kolonialisme. Hal yang kemudian menjadi basis pertahanan bagi perempuan adalah
menggali kembali nilai luhur yang terkandung dalam setiap kebudayaan lokal yang
menyebar setiap daerah di Indonesia. Dengan demikian periode Emiria beserta
karyanya secara prespektif gender bergerak maju bersama beberapa organisasi perempuan
yang getol menyuarakan hak-hak perempuan.
Setelah periode penjamuan Emiria, perupa perempuan indonesia serasa
tidak terlalu intens melakukan pameran karya yang mengangkat persoalan dinamika
perempuan, hal tersebut mungkin karena terputusnya regenerasi perupa perempuan saat
setelah Emiria tutup usia. Gerak perempuan hanya berkutat pada pengorganisian
dan kampanye terhadap ketertindasan di sektor buru dan hak atas akses politik
di berbagai sektor. Padahal seni lukis merupakan salah satu metode paling
efektif untuk mengkampanyekan kedirian perempuan beserta hak-hak kemerdakaan
lainnya.
Baru tahun 1990 mulai tumbuh kesadaran di beberapa kalangan
perupa muda perempuan, seperti Lucia Hartini, Arahmaiani, Astari Rasjid, Iriantine Karnaya, Dolorosa
Sinaga, Marida Nasution hingga perupa yang lebih muda seperti Bunga Jeruk dan Laksmi Sitoresmi untuk membicarakan kembali kedirian mereka lewat karya seni sebagai
ekspresei terhadap penindasan yang tersubordenasi oleh kekuatan dominasi. Atas
usaha kolektif tersebut rupanya berdampak pada munculnya kajia-kajian perempuan
khususnya lingkungan akademis, salah satunya Universitas Indonesia membuka
program magister kajian perempuan yang dapat mendukung asumsi-asumsi perupa
perempuan saat itu.[6] Pada tataran yang lain tentunya dunia akademisi
mendorong terbukanya kran pengetahuan tentang perempuan sebagai penanda babak
baru dalam perkembangan peradaban bangsa ini.
Terlepas dari periode tersebut,
seiring dengan dialektisnya jaman ini bergerak maju maka posisi perempuan juga
harus mendapat tempat yang layak dalam berbagai ruang termasuk dalam dunia
kesenian. Karena sejatinya subjek perupa perempuan harus menyatakan keberpihaknya
lewat berbagai macam karya seni yang bersentuhan dengan permasalahan perempuan
di era kontemporer saat ini.
Sekitar tahun 2016 lalu respon muncul
dari seorang seniman perempuan asal jepang, Yoko Ono. Yoko membuat sebuah
pameran dengan tema “Arising”, yang
mengajak perempuan seluruh negara untuk mengirimkan pesan singkat dengan bahasa
mereka sendiri atas perlakuan kekerasan fisik yang mereka alami lengkap dengan
foto mereka. Secara garis besar Yoko ingin menunjukkan solidaritas perempuan seluruh
dunia untuk memprotes tindakan pelecehan seksual baik dari pasangan maupun
orang lain. Mengingat data yang dirilis oleh WHO hampir 35 persen perempuan
seluruh dunia mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual, sementara sebanyak
38 persen telah tewas akibat dilakukan pasangannya.
Sementara untuk Indonesia sendiri
sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2016 data yang dirilis oleh Komnas Perempuan
beberapa bentuk kekerasan perempuan sangat meningkat drastis, seperti kekerasan
terhadap istri mencapai 6.725 kasus, kekerasan dalam pacaran mencapai 2.734
kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 930 kasus. Sementara kasus
perkosaan mencapai 2.399 kasus, pencabulan 601 kasus, dan pelecehan seksual 1.666
kasus.
Data tersebut meningkat fantastik
setiap tahun, dalam berbagai sektor. Kali ini respon juga kembali di helat oleh
perupa perempuan Maluku Utara yang di pelopori oleh komunitas Kampung Warna
dengan menunjukkan beberapa karya seni lukis mural dengan tema seputar perempuan.
Keterlibatan perupa perempuan di Kampung Warna merupakan suatu kegembiraan bagi
perempuan-perempuan maluku utara. Mengingat selama ini agenda keseniaan Maluku
Utara hanya berkutat pada perayaaan festival yang belum pernah menyentuh ruang
seni rupa khususnya seni lukis mural dan tentunya momentum untuk dapat mengorganisir
seluruh perempuan agar berpartisipasi dalam solidaritas atas apa yang dialami
perempuan seluruh dunia. Setidaknya perempuan dapat membicarakan perempuan yang
lain yang pernah mengalami diskriminasi atau membicarakan tentang kedirian
perupa perempuan itu sendiri lewat seni lukis mural sebagai salah satu media
alternatif yang efektif.
Kepustakaan:
[1] Dhani, Arman. 2017. “Jalan Hidup Pelukis Jalanan Jean-Michael
Basquat”. Tirto, https://tirto.id/jalan-hidup-pelukis-jalanan-jean-michel-basquiat-cphd
(diakses 25 Desember 2017).
[2] Irfan Reza, M Faisal. 2017. “Persahabatan-Persahabatan yang Mengubah
Dunia Seni”. Tirto, https://tirto.id/persahabatan-persahabatan-yang-mengubah-dunia-seni-cwiD(diakses 25 Desember 2017).
[3] Borkres, Victor. 1989.
Warhol: A Biography
[4] Aginta Hidayat, Medhy. 2012. “Menggugat
Modernisme”, Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard.
Jalasutra.
[5] Setyono, Budi. 2010. “Emiria Sunassa, Perupa Perempuan Genius”.
Historia, http://historia.id/persona/emiria-sunassa-perupa-perempuan-genius(diakses 25 Desember 2017)