Mural Perempuan Bicara Perempuan

04:11


Mural untuk Pemula
Sebagai aktifitas subkultur dari narasi seni moderen yang muncul di tengah masyarakat urban, awal kemunculannya pun tidak berlangsung begitu saja, akan tetapi ada periode dimana seni mural menjadi salah satu alternatif seniman dalam mengekspresikan realitas sosial di lingkungan masyarakat kota.

Sebagaimana praktek sang maestro dunia, Pablo Picasso dapat menunjukkan sebuah maha karya kepada dunia tentang potret kota Guernica yang dibombardir oleh tentara Nazi berafiliasi dengan kelompok nasionalis Spanyol. Tragedi tersebut menelan korban sipil yang cukup banyak terutama perempuan dan anak-anak. Informasi pun menyebar ke Paris tempat dimana Picasso meluapkan hasrta kesenian bersama rivalnya Henri Metise pada pameran perdana mereka, pada saat bersamaan Picasso kemudian memilih untuk meninggalkan pameran dan menggarap karya mural bertajuk Guernica.

Ketika melihat lukisan “Guernica” maka kita akan menemukan gaya khas dari Picasso yang konsisten dengan aliran kubisme alamiah dengan pendekatan geometris dasar pada bidang dua dimensi dan pewarnaannya, Picasso mengkombinasikan skema monokromatik dengan warna abu-abu, biru dan oker. Dengan kecerdikan teknis dan metode yang matang yang mengantarkan Picasso menjadi tokoh seni rupa paling berpengaruh di dunia, serta lewat lukisan “Guernica” gagasan mural art dikenal dan menjadi sebuah sayap utama dalam seni moderen.

Fenomenalnya “Gurnica” mampu mendobrak lahirnya aliran-aliran estetik baru dalam seni rupa Barat. Saat jelang dua tahun setelah tutup usia sang maestro, anak berambut ikal dari keturunan Haiti berumur 16 tahun bersama ibunya berdiri dihadapan mural “Gurnica” dan sangat tertegun menikmati sihir maha karya tersebut. Dialah, Jean-Michel Basquiat dalam potert film fiksi biografi “Basquiat” yang di perankan oleh Jeffrey Wrigt. Pada usia yang sangat muda tersebut,  Basquiat telah menghasilkan banyak karya mural yang terpajang menghiasi dinding tembok kota Soho lalu bersama dengan karibnya Al Dias membuat sebuah karya grafiti bertuliskan “SAMO IS DEAD”. Tentunya Basquiat banyak meyerap inspirasi dari karya Picasso sebagai fondasi utama karya garfittinya sekaligus responnya terhadap polemik modernisme akhir menuju pascamodernisme awal dengan menghadirkan gaya ekspresionisme sebagai protes terhadap dinamika sosial-politk saat itu.

Berbeda dengan sang maestro yang pernah mencicipi pendidikan seni formal,  Basquiat tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Olehnya itu, setiap karya yang menghiasi didnding tembok memiliki unsur keseimbangan dan spontanitas dan tentunya muatan kritik yang terkandung dalam karya-karyanya sehingga dibeberapa kalangan seniman menyebut sebagai Neu Wilden (yang liar) disamping kehidupan yang liar sebagai manusia kardus, refleksinya pun mempengaruhi setiap goresan tangan di tembok gedung Soho.[1]

Mengawali karir sebagai seniman jalanan sudah tentu membuat  Basquiat harus mencari cara agar karyanya bisa masuk dalam pameran bergengsi, setidaknya dapat menemukan penggemarnya. Setelah psroject “SAMO IS DEAD” menghiasi dinding tembok Soho. Setahun berikutnya bertepatan musim gugur 1982,  Basquiat mengunjungi bengkel seni factory miliki Andi Warhol legenda pop cultur, sebenarnya perjumpaan tersebut atas inisiasi Bruno Bischofberger rekan Warhol asal zurich yang sejak awal tertarik pada kejeniusan  Basquiat lalu berkenang mengenalkan kepada Warhol yang memiliki akses pada kurator ternama saat itu.

Sebagaimana dalam adegan film “Bisquiat” pertemuan perdana itu, lelaki dengan corak rambut gimbal itu mengajukkan pertanyaan, “berapa lama waktu yang bisa dibutuhkan untuk bisa terkenal?

Pria kulit putih yang ditanya itu lantas menjawab, “Empat tahun. Enam untuk bisa jadi kaya.”

Sejak saat itu karya kolaborasi lahir selama berlangsungnya kerja sama antara Basquat dan Warhol. Pada tahun 1985, karya bertajuk Arm and Hammer II dirilis. Secara garis besar Arm and Hammer II memiliki irisan yang berbeda dari segi karya, Warhol dengan gaya pop art yang berkontras tinggi dipadukan dengan gaya ekspresionis oleh  Basquiat. Setahun berselang, karya kolaborasi kedua dengan judul Ten Punching Bags (Last Supper) dipamerkan di Milan atas permintaan Alexander Lolas seorang kurator internasional. Sebagai penjamuan terakhir atas permintaan tersebut Warhol dan Bisquat menjelma lalu memadukan gagasan perlawan terhadap segala penindasan atas nama idiologi.[2]

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa  Basquiat sangat mengidolakan Warhol, serta termotivasi agar karyanya dapat diterima publik dengan sokongan figur seorang Warhol. Begitupula sebaliknya, Warhol sangat mengagumi anak muda seperti  Basquiat yang tidak kehabisan ide pemberontakan. Olehnya, relasi antara  Basquiat dan Warhol disebut sebagai relasi bromance, dan ikatan tersebut menurut Victor Bockris dalam Warhol: A Biography (1989) adalah melambangkan “simbiosis mutualisme”. Sampai saat setelah wafatnya Warhol pada tahun 1984, menjadikan  Basquiat terpukul dan pada akhirnya, obat-obatan menjadi pelampiasan yang berujung kematian pada tahun 1988. Usianya masih cukup muda menginjak 27 tahun.[3]

Diantara rivalitas Pablo Picasso dan Henri Matisse di Paris, ternyata ada pula “pernikahan gila dunia seni” anatara Jean-Michel  Basquiat dan Andi Warhol di Amerika yang kemudian mewarnai sejarah peradaban seni rupa moderen terutama genre pop art dan mural art yang sampai saat ini praktek lukisan mural dapat dinikmmati setiap tembok kota-kota dunia, dan produk spanduk, pamflet, browsur, stiker mewakili praktek pop art yang bisa ditemukan kala partai “marjinal” melakukan kampanye.

Mural untuk Perempuan

Setidaknya terdapat dua irisan penting dalam melihat perhelatan kesenian kita, khusunya seni lukis mural. Yang pertama adalah, bagaiman seni lukis mural dijadikan sebagai medium untuk berlangsungnya kegiatan artistik dan yang kedua, mengisi isu yang bergizi kedalam seni lukis mural sebagai agenda distribusi kesadaran masyarakat urban. Pandangan tersebut bergantung pada konsepsi kita terhadap seni mural, apakah mentok sebagai sebuah karya seni yang memiliki unsur estetik, ataukah mampu memadukan antara unsur estetik dan unsur kedalaman makna (isu-isu perempuan).

Dengan memanfaatkan tembok yang berada di sudut-sudut kota maupun tengah-tengah akses keramaian, masyarakat dari pelbagai usia dengan mudah melihat lalu mencermati dengan cara mereka sendiri. Kesannya adalah masyrakat lebih rilex dalam mengakses karya seni dibanding dengan mengunjungi galeri dan Museum seni tertentu. Masyarakat juga tentunya tidak terkoptasi dengan seni yang bernuansa elit yang mengharuskan apresiasinya hanya pada ruang tertentu dan bahkan terkesan kaku dalam perayaannya, pada akhirnya sebahagian masyarakat marjinal seperti kaum miskin kota yang tergolong dalam masyarakat ekonomi bawah tidak mempunyai kesempatan dan tentunya merasa minder atas nuansa perayan kesenian seperti itu. Seni lukis mural hakikatnya dapat mengakomodir irisan (seni untuk rakyat) atau (seni untuk publik) yaitu karya seni yang dapat dirayakan bersama-sama di semua kalangan masyarakat.

Setiapa karya seni memiliki kekuatan sugesti yang kuat, energi yang terkandung didalam pun sangat berimplikasi lalu menyasar ruang instuisi seseorang. Apalagi lukisan tersebut terpajang bebas di ruang-ruang publik yang tidak mengenal usia pandang, suda tentu dari segi artistik menyenangkan. Apalagi dalam prespektif  tata ruang kota yang mengidamkan wajah kota asrih, bersih, dan nampak pula beragam lukisan menempel di dinding (tembok). Alih-alih pemerintah kota tidak repot menggelontor anggaran agar dapat membeli cat dan mewarnai seluruh isi tembok yang penuh dengan lumut dan karatan. Ah, pemerintah kota lebih sudi memberi anggaran untuk memajang papan iklan kesuksesan wali kota atau memberi restu kepada partai politik untuk memajang spanduk kandidat yang bikin muak itu. Ditambah lagi propaganda marketing produk multinasional dan impor yang memonopoli kehidupan masyarakat pada umumnya. Fanomena tersebut dapat ditemui diberbagai kota di indonesia dengan berbagai slogan yang meracuni otak.

Fanomena lain dapat ditemukan pada perkembangan arus kapitalisme lanjut, dimana ikla produk industri kapitalis memenuhi ruas jalan disetiap kota. Bayangkan saja setiap hari dalam rutinitas, mulai dari rumah sampai di ruas-ruas jalan selalalu disuguhkan dengan pemandangan iklan shampoo, dan handphon yang menggambarkan seorang perempuan cantik sedang mengurai rambutnya usai menggunakan shampoo pantene lalu sambil berdiri memegang iphon keluaran terbaru dengan warna mengkilap mengikuti warna kulitnya yang “aduhai”. Sudah tentunya siklus tersebut dapat menanamkan mindset masyarakat terhadap sebuah kehidupan yang ideal, dimana steriotip yang muncul bahwa perempuan tidak dikatan cantik kalau tidak memiliki rambut yang bagus dan atau memiliki warna kulit cerah. Akhirnya masyarakat dikonstruk untuk meningkatkan daya beli dan hasrat untuk memiliki yang melampaui nalar antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Melalui objek perempuan juga serasa ekspansi dan propaganda kepitalis benar-benar jitu menyasar nafsu manusia untuk selalu memproyeksikan diri menjadi manusia hiperealitas alias masyarakat konsumtif pasif.

Konsekwensi ril dari perkembangan kapitalisme lanjut adalah munculnya stigma yang merembek ke berbagai sektor masyarakat kontemporer. Terutama pada sektor perempuan yang menjadi ikon di stiap instrumen produk kapitalis. Subjek perempuan terlihat sangat radikal didehumanisasi lewat penampakan iklan di televisi, koran, majalah, spanduk, baliho, binner, dan teknologi informasi berbasis komputer dan gadget. Pengkodeaan tersebut menunjukkan adanya pencitraan negatif, diantaranya dalam bentuk subordinatif dan eksploitatif yang kemudian merepresentasikan patologi idiologi gender. Pada kasus ini terkait tiga hal pokok perempuan, yang pertama, adalah persoalan eksploitasi stereotip daya tarik seksualitas perempuan. Kedua, terkait eksplotitasi stereotip seksualitas perempuaan yang kemudian memunculkan stereotip turunan seperti pandangan terhadap segenap organ tubuh perempuan. Serta ketiga, yang tidak kalah menonjol adalah eksploitasi stereotip domestikisasi atau pengiburumahtanggaan.[4]

Sederhananya, perempuan masi belum memiliki peran penting yang setara dengan laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan. Dimana perempuan rupanya masi dipandang sebagai representasi kodrati yang menempatkan perempuan sebagai subjek rumahan sementara laki-laki yang kemudian menguasai alat-alat produksi. Perempuan lalu direduksi menjadi manusia kelas dua dalam relasi sosial maupun keluarga, karena dianggap tidak memiliki kekuatan fisik yang kuat seperti laki-laki. Maka, perannnya pun hanya sebatas di rumah mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak (domestikisasi) sebagaimana yang ditunjukkan pada era revolusi industri. Sementara pada era kapitalisem yang barbar ini, kodrat perempuan hanya berkisar anatar kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lalu kemudian diperluas menempati berbagai perusahan atau pekerja upahan yang gajinya pas-pasan. Secara dialektis kita dapat menelaah bahwa bentuk eksploitasi perempuan malah lebik kompleks anatar keterlibatan perempuan dalam proses produksi dan reproduksi yang ternayata sarat dengan unsur penindasan dengan berbagai macam bentuk.

Lalu kemudian dengan mencuaknya kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga,  pemerkosaan, dan serangkaian kasus asusila lainnya, membuat perempuan harus mendorong diri secara otonom untuk bersolidaritas melawan ketertindasan dalam garis politik yang independen. Sebagaiman dalam tajuk “mural untuk perempuan” sekiranya secara represif  menjadi medium yang tepat bagi perjuangan perempuan untuk mengkampanyekan kesadaran atas kedirian dan pilihan politik yang selama ini diabaikan oleh yang mendominasi (laki-laki). Dalam “mural untuk perempuan” sekurang melibatkan lima puluh perempuan dari berbagai usia dengan beragam sketsa gambar sudah tentunya sarat dengan muatan ekspresi atas masalah-masalah seputar perempuan, khusunya di maluku utara dan tentunya kota Ternate sebagai pusat perhelatan seni mural berlangsung.

Perempuan Bicara Perempuan

“SENIMAN menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan,” Emiria Sunassa Wama′na Putri Al Alam Mahkota Tidore gelar Emma Wilhemina Parera

Seorang perempuan nampak santun dan tersenyum menawan berdiri dengan sedikit membongkok seperti seorang putri duyun yang sedang membengkokkan kaki kala bersandar di tepian pantai. Dengan paras yang sangat menawan terdapat setangkai bunga berwarna putih menempel di telinga dengan model rambut sanggul (konde) kebelakang, kebaya warnah putih menjadi pilihan yang cocok dikenakan sebagai satu kesatuan dengan bunga yang dilettakkan di telinga. Dibagian pinggul sampai menyentuh mata kaki dibalut seutas sarung berwarna kolaboratif antara biru muda dan kuning, lengkap dengan sendal yang pernah dipakai oleh perempuan berdarah biru. Rupanya dengan postur sedikit menunduk ternyata perempuan tersebut memegang sebuah payung berwarna merah darah mengarah kesamping kiri atas sembari memulai sebuah perjalanan melewati jalan yang tak beraspal. Disamping kiri jalan, terdapat terhampar rumput hijau serta sebuah danau kecil berwarna biru sebagai bentuk penyempurnaan figur perempuan yang sering disematkan dengan naluri keindahan.

Itulah potret lukisan figuratif dengan judul “wanita berpayung” yang dilukiskan diatas canvas berukuran 155 cm x 80 cm yang dibuat sekitar tahun 1957 lewat tangan seorang perupa perempuan pertama Indonesia bernama Emiria Sunassa yang belakang ini diketahuia berasal dari negeri Kie Matubu (kesultanan Tidore) .[5]

Lewat perkataan fenomenalnya, seolah Emira hadir dari “ketiadaan” lalu kemudian menjadi “ada”, dan dari “ketiadaan” sosok Emiria termanifestasi dengan segala yang-ada dalam pengalaman hidupnya. Rupanay Emiria sengat memahami term tersebut dengan menemukan kediriannya lewat suasana hati (mood), karena suasan hati membuat emiria akan menyingkap sesuatu yang belum tertemukan. Dalam suasana hati penuh cinta emiria menemukan berbagai hal menjadi penuh kasih, warna, makna, ketulusan, dan kemudian mendorong naluria estetik-nya untuk dituangkan dalam setiap ayunan kwas yang ia pegang. Dalam karirnya yang singkat, emiria berhasil meng-ada-kan beberapa karya yang bersentuhan dengan tema seputar perempuan dan tradisi lokal, seperti pada lukisan berjudul “poteret wanita tua”, “pengantin dayak”, “wanita sulawesi”, dan “wanita berpayung”.

Sebagaiman pada lukisan “pengantin Dayak” menunjukkan emiria sangat lihai dan jenius dalam pemilihan warna merah jambu dan coklat tua yang mengangkat figur perempuan dari suku dayak yang sedang merayakan pernikahan dengan duduk berbaris mengenakan pakaian khas suku dayak. Lukisan tersebut mendapat pujian dari kalangan perupa ternama periode pertama seperti Sudjojono yang mengatakan emiria sebabagi pelukis perempuan yang “genius”.

Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh emiria adalah suatu kejadian yang luar biasa dalam perjalan sejarah perempuan Indonesia. khususnya figur perempuan sebagai perupa tentunya sesuatu yang sulit ditemui pada periode awal bangsa ini, dengan kehadiran Emiria sebagai perupa perempuan yang memfokuskan diri pada isu-isu seputar perempuan dan budaya lokal tentunya mendapatkan tempat khusus dan istemewa sebagai pelaku seni yang gigih memperkenalkan pentingnya mempertahankan tradisi dan budaya lokal sebagai karakter khas manusia Indonesia. Pada tataran ini, emiria menawarkan kepada seluruh perempuan bahwa apa yang tersisah dari kebudayaan kolonialsime ialah tercabutnya akar kebudayaan perempuan lokal dimana memperlakukan perempuan sebagai budak seks pada setiap orde kolonialisme. Hal yang kemudian menjadi basis pertahanan bagi perempuan adalah menggali kembali nilai luhur yang terkandung dalam setiap kebudayaan lokal yang menyebar setiap daerah di Indonesia. Dengan demikian periode Emiria beserta karyanya secara prespektif gender bergerak maju bersama beberapa organisasi perempuan yang getol menyuarakan hak-hak perempuan.

Setelah periode penjamuan Emiria, perupa perempuan indonesia serasa tidak terlalu intens melakukan pameran karya yang mengangkat persoalan dinamika perempuan, hal tersebut mungkin karena terputusnya regenerasi perupa perempuan saat setelah Emiria tutup usia. Gerak perempuan hanya berkutat pada pengorganisian dan kampanye terhadap ketertindasan di sektor buru dan hak atas akses politik di berbagai sektor. Padahal seni lukis merupakan salah satu metode paling efektif untuk mengkampanyekan kedirian perempuan beserta hak-hak kemerdakaan lainnya.

Baru tahun 1990 mulai tumbuh kesadaran di beberapa kalangan perupa muda perempuan, seperti Lucia Hartini, Arahmaiani, Astari Rasjid, Iriantine Karnaya, Dolorosa Sinaga, Marida Nasution hingga perupa yang lebih muda seperti Bunga Jeruk dan Laksmi Sitoresmi untuk membicarakan kembali kedirian mereka lewat karya seni sebagai ekspresei terhadap penindasan yang tersubordenasi oleh kekuatan dominasi. Atas usaha kolektif tersebut rupanya berdampak pada munculnya kajia-kajian perempuan khususnya lingkungan akademis, salah satunya Universitas Indonesia membuka program magister kajian perempuan yang dapat mendukung asumsi-asumsi perupa perempuan saat itu.[6] Pada tataran yang lain tentunya dunia akademisi mendorong terbukanya kran pengetahuan tentang perempuan sebagai penanda babak baru dalam perkembangan peradaban bangsa ini.

Terlepas dari periode tersebut, seiring dengan dialektisnya jaman ini bergerak maju maka posisi perempuan juga harus mendapat tempat yang layak dalam berbagai ruang termasuk dalam dunia kesenian. Karena sejatinya subjek perupa perempuan harus menyatakan keberpihaknya lewat berbagai macam karya seni yang bersentuhan dengan permasalahan perempuan di era kontemporer saat ini.

Sekitar tahun 2016 lalu respon muncul dari seorang seniman perempuan asal jepang, Yoko Ono. Yoko membuat sebuah pameran dengan tema “Arising”, yang mengajak perempuan seluruh negara untuk mengirimkan pesan singkat dengan bahasa mereka sendiri atas perlakuan kekerasan fisik yang mereka alami lengkap dengan foto mereka. Secara garis besar Yoko ingin menunjukkan solidaritas perempuan seluruh dunia untuk memprotes tindakan pelecehan seksual baik dari pasangan maupun orang lain. Mengingat data yang dirilis oleh WHO hampir 35 persen perempuan seluruh dunia mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual, sementara sebanyak 38 persen telah tewas akibat dilakukan pasangannya.

Sementara untuk Indonesia sendiri sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2016 data yang dirilis oleh Komnas Perempuan beberapa bentuk kekerasan perempuan sangat meningkat drastis, seperti kekerasan terhadap istri mencapai 6.725 kasus, kekerasan dalam pacaran mencapai 2.734 kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 930 kasus. Sementara kasus perkosaan mencapai 2.399 kasus, pencabulan 601 kasus, dan pelecehan seksual 1.666 kasus.

Data tersebut meningkat fantastik setiap tahun, dalam berbagai sektor. Kali ini respon juga kembali di helat oleh perupa perempuan Maluku Utara yang di pelopori oleh komunitas Kampung Warna dengan menunjukkan beberapa karya seni lukis mural dengan tema seputar perempuan. Keterlibatan perupa perempuan di Kampung Warna merupakan suatu kegembiraan bagi perempuan-perempuan maluku utara. Mengingat selama ini agenda keseniaan Maluku Utara hanya berkutat pada perayaaan festival yang belum pernah menyentuh ruang seni rupa khususnya seni lukis mural dan tentunya momentum untuk dapat mengorganisir seluruh perempuan agar berpartisipasi dalam solidaritas atas apa yang dialami perempuan seluruh dunia. Setidaknya perempuan dapat membicarakan perempuan yang lain yang pernah mengalami diskriminasi atau membicarakan tentang kedirian perupa perempuan itu sendiri lewat seni lukis mural sebagai salah satu media alternatif yang efektif.


Kepustakaan:
[1] Dhani, Arman. 2017. “Jalan Hidup Pelukis Jalanan Jean-Michael Basquat”. Tirto, https://tirto.id/jalan-hidup-pelukis-jalanan-jean-michel-basquiat-cphd (diakses 25 Desember 2017).
[2] Irfan Reza, M Faisal. 2017. “Persahabatan-Persahabatan yang Mengubah Dunia Seni”. Tirto, https://tirto.id/persahabatan-persahabatan-yang-mengubah-dunia-seni-cwiD(diakses 25 Desember 2017).
[3] Borkres, Victor. 1989. Warhol: A Biography
[4] Aginta Hidayat, Medhy. 2012. “Menggugat Modernisme”, Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Jalasutra.
[5] Setyono, Budi. 2010. “Emiria Sunassa, Perupa Perempuan Genius”. Historia, http://historia.id/persona/emiria-sunassa-perupa-perempuan-genius(diakses 25 Desember 2017)  

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images