Agama saya adalah Jurnalisme
15:09
“Jurnalisme masa kini sudah berubah dari jurnalisme masa lampau. Buku ini mengindikasikan perubahan lebih jauh pada masa depan.”
Salah satu kutipan menarik yang di publikasi oleh Andreas Harsono yang berjudul “Agama saya adalah jurnalisme” tertulis jelas nama Andreas Harsono sebagai penulis buku tersebut. Nama Bang Andres sendiri saya kenal pertama kali waktu Sekjen Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia kawan Somad ketika sibuk mencari dewan Juri untuk lomba majalah Persma yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan Musyawarah kerja Nasional beberapa bulan yang lalu di Makassar. Bang Somad mengusulkan alangkah baiknya dewan Juri lomba Majalah persma harus memiliki kapasitas lebih dan nama bang Andreas di usulkan sebagai nama Juri lomba majalah Persma.
Awal mulanya aku bertanya-tanya seorang Andreas lalu mencari biorafinya di internet serta menulusuri berbagai macam tulisan yang di post ke blog pribadinya, aku sedikit kesulitan dalam membaca data pribadinya karena di tuliskan dengan bahasa inggris, Maklum aku terkendala bahasa inggris dan langsung ke google transleate. Ternyata, bang Andreas adalah salah satu wartawan senior dengan awal karirnya sebagai reporter untuk Bangsa yang berkantor di Bangkok dan Koran Bintang berbasis di Kuala Lumpur. Terlibat mendirikan Aliansi Jakarta Jurnalis Independe pada tahun 1994 dan di panggil untuk bergabung dalam Human Rights Watch sejak tahun 2008. Buku yang telah di terbitkan sebelumnya adalah “Jurnalisme Sastrawi” antologi liputan mendalam dan memikat (dengan budi setiyono)
Menarik untuk di baca lebih jauh dan di bedah secara luas oleh kalang wartawan media umum dan khususnya insan pers mahasiswa. Kadang kita selalu mengatakan bahwa insan pers itu mengembang tugas malaikat presepsi tersebut di tegaskan oleh Andreas dalam ulasannya pada tema 1 tentang wartawan yang mengambil pelajaran berharga pada gurunya ( Bill Kovach). Dalam pandang Kovach adalah kebenaran itu bersifat relatif tiap individu, porsi kebenaran tersebut bukan pada tataran filosofis tapi pada tataran fungsional.
Kebenaran fungsional artinya kebenaran itu bisa keliru, bisa di revisi. Maka, praktek subjek tertentu bisa mengalami kesalahan yang bersifat prosedural dan menegasikan kebenaran fungsional bukan filosofis. Contoh kasusunya adalah hakim yang berada di pengadilan bisa khilaf, ilmu alam bisa salah dll. Olehnya, masyarakat butuh proses untuk mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Bagian kedua dari buku tersebut Harsono mencoba menarik garis keras terkait politik redaksi yang selama ini berlangsung di media massa, kadangkala redaksi memainkan peran di belakang layar ketika berbenturan kepentingan antara pemilik media dan buruh media dalam hal ini adlah karyawan. Dalam proses pengamatan terhadap jatuhnya kepemimpinan Gusdur yang sebenarnya berkaitan erat dengan interfensi media massa terhadap pembentukan opini public. Dengan menghadirkan para pakar, pengamat berkomentar negative tentang Gus Dur. Disebutkan data, narasumber anti-Gus Dur 31,1 persen dan Narasumber pro-Gus Dur hanya 2,4 persen yang tampil di media televisi.
Pada akhirnya, Andreas berasumsi “Saya ingin sedikit menyumbang pikiran. Tanggung jawab kita sebagai wartawan kini memang sedang berat-beratnya. Kita bisa disalah mengerti. Kita bisa dituduh macam-macam. Tapi bagi seorang wartawan, dia harus mendahulukan jurnalisme. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia ke luar dari pintu rumah dan jadi wartawan.
0 comments