Kepunahan Bahasa Daerah dan Kematian Identitas

07:34



“Ma Taba Noma det mangarti”

Kondisi sosial Maluku Utara sangatlah heterogen, hal tersebut dapat dilihat dari penyebaran etnis yang mendiami berbagai kepulauan di Maluku Utara. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang tumbuh pesat maka masyarakat pinggiran berbondong-bondong datang ke-kota untuk memperbaiki status ekonomi karena dipahami kota merupakan pusat perputaran ekonomi. Dengan meletakkan kota Ternate sebagai pusat untuk melakukan aktivitas ekonomi-politik maka sebahagian masyarakat dengan etnis yang berbeda menjalin interaksi di ruang-ruang kota dan meninggalkan desa tercinta. Padahal desa adalah benteng terakhir kita dalam pemertahanan berbagai bentuk nilai-nilai lokal.

Suatu konsekwensi besar yang perlu kita ketahui dalam mepertahan nila-nilai local, yaitu pergeseran bahasa ibu. Mungkin, terlihat “kampungan”. Seorang pemuda dari kepulauan bacan, Makeang, Galela, atau Jailolo misalnya, datang ke kota Ternate dan memakai bahasa ibu-nya dalam ruang tertentu yang dimana orang memakai bahasa melayu Ternate dengan logat “gaul” maka dengan sontak teman skelilingnya menertawai dan bahkan mencela katanya dia “kampungan” dan ketinggalan. Kejadian ini mungkin kita semua alami bagi anak muda yang tinggal di desa yang kesehariannya merupakan penutur akftif lalu seketika mengunjungi kota Ternate dan kembali ke-desa ternyata berubah dan aktif menggunakan dialek melayu Ternate walaupun sesama etnis. Dan yang lebih disayangkan pergeseran penutur bahasa ibu telah masuk dalam basis-basis keluarga kita di desa.

Kasus lain penyebab pergeseran bahasa ibu kita adalah adanya pernikahan silang antar etnis, yang mana proses transformasi bahasa ibu tidak lagi tersalurkan di kehidupan generasi kedua karena orang tuanya memiliki perbedaan bahasa. Sehingga pada generasi kedua keluarga bisa kita kategorikan sebagai subjek yang pasif dalam menuturkan bahasa ibu dan pergeseran mulai mencapai stadium akhirnya adalah pada generasi ketiga keluarga yang mana tidak sama sekali memahami bahasa ibu. Maka disini letak kepunahan bahasa ibu dan mengakibatkan kematian identitas sebuah komunitas.

Seperti yang disebutkan oleh Ubaidilla di Harian Indoprogres bahwa dua bulan lalu tepatnya tgl 2-4 Agustus, Yayasan Kebudayaan Rancagé mengadakan Kongres Bahasa Daerah Nusantara yang menghadirkan praktisi dan pekerja budaya. Pertemuan tersebut membicarakan seputar aturan dan pembinaan bahasa daerah yang dianggap masih ekslusif bagi penuturnya. Ubaidillah menguraikannya dengan sebuah introduksi baru terhadap polemik kepunahan bahasa yang menurutnya sangat berkaitan dengan kemiskinan desa. Secara universal introduksi tersebut membawa sebuah kesimpulan bahwa logika ekonomi-politik pembangunanlah yang menyebabkan pudarnya bahasa daerah.

Banyak kasus yang kita temukan di Maluku Utara khusunya dalam basis-basis keluarga yang memiliki dua bahasa ibu, sekaligus hidup dalam interaksi perkotaan. Keluarga menjadi instrument utama dalam menjaga esksisnya bahasa ibu, tapi ternyata anak menjadi subjek yang pasif. Dapat memahami bahasa ibu akan tetapi tidak mampu mengujarnya, polemik dasarnya adalah para orang tua tidak mengasuh anaknya dengan bahasa ibu. Akhirnya, menggunakan bahasa melayu Ternate di dalam tatanan keluarga menjadi sebuah keputusan moderat mengingat beberapa faktor yang disebutkan diatas. Sebagaimana pilihan bahasa indonesai sebagai bahasa utama kita merupakan sebuah kekeliruan besar, seperti yang ditulis oleh Eko Rusdianto di Historia, dari hasil wawancaranya dengan Nurhayati dosen Filologi Universitas Hasanuddin mengatakan bahwa bahasa Indonesia bukan bahasa utama akan tetapi bahasa pengantar dalam interaksi lintas etnis, begitu pula dengan Bahasa Melayu Ternate.

Beragam kasus yang kemudian menggorogoti hampir seluruh etnis yang ada di Maluku Utara, akan tetapi upaya-upaya strategis tidak di dorong oleh kaum muda kita saat ini. Dan contoh kasus sederhana di atas dapat membuat kita merespon secepatnya demi penyelematan identitas yang terkandung dalam bahasa ibu kita masing-masing. Kita bisa saja berspekulasi beberapa tahun kedepan bisa jadi orang Tidore, Makeang, Ternate, Bacan, Galela-Tobelo, Patani berubah alih menjadi orang Jawa dan mahir berbahasa Jawa. Ya. Mungkin, kelihatannya bullshet, tapi hal ini membuktikan sejauh mana mempertahankan identitas etnis kita yang mungkin dalam tataran nasional kita termasuk etnis yang minoritas. Bukan bermaksud untuk menjadi etnis yang primordial dan mengisolasikan diri, tapi upaya mendorong bahasa daerah dalam perkembangan ilmu pengetahun dan tekhnologi saat ini sangat perlu dilakukan.
Sepertimana dalam seruan Mao Ze-dong bahwa akan tiba masanya ‘Angin Timur mengalahkan Angin Barat’. Bukan hendak menghidupkan kembali semangat Perang Dingin sebagai konteks ujaran tersebut muncul tetapi tengah mengambil semangat bahwa kita dapat mengodifikasi kekayaan alam, pengetahuan dan kemampuan endemik bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi pengetahuan yang diterima universal. Sprit tersebut dapat kita jadikan sebagai kekuatan untuk mengeksplorasi kekayaan budaya Maluku Uatara di tingkat nasional.
Mungkin kita tau bahwa Charles Darwin menyusun Origin of Species berkat data yang dihimpun dari Maluku dan selalu menerima surat dari A.R Wallace mengenai flora dan faunanya. Karl Marx mengonsep sosialismenya dengan bahan-bahan seputar pendudukan VOC di Maluku dan dari susunan desa di Jawa dan Bali. 

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images