MENGGUGAT MODERNISME: MENGENALI RENTANG PEMIKIRAN POSTMODERNISME JEAN BAUDRILLARD

15:05


DENTITAS BUKU
Judul Buku      : Menggugat Modernisme (Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean                                               Baudrillard)
Penulis               : Medhy Aginta Hidayat
Penerbit            : Jalasutra
Cetakan             : Pertama, Juni 2012
Tebal                   : xii+176 hlm; 14 x 21 cm
ISBN                    : 978-602-8252-77-5

Filsafat/Sosiologi
ULASAN BUKU
Penulis adalah seorang dosen & Ketua Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) serta Direktur Centre for Sociological Studies (CSS). Buku ini merupakan upaya beliau untuk melakukan inventarisasi pemikiran-pemikiran Jean Baudrillard tentang budaya postmodern. Gaya dari pemikiran-pemikiran Baudrillard yang original muncul berupa kutipan-kutipan. Jika dalam karya-karyanya Baudrillard menuliskan pemikirannya dengan gaya bahasa yang radikal, destruktif, provokatif, rumit dan acak, di sini pembaca dapat menyelami pemikiran Baudrillard tentang budaya postmodern dengan pola yang lebih sistematis & mudah dipahami. Di buku ini penulis juga memberi tinjauan serta evaluasi kritis melalui refleksi & interpretasi pemikir lain termasuk Yasraf Amir Piliang.
Buku menggugat posmodernisme mencakup tiga tema sentral. Pertama, ulasan tentang historis filsafat, kedua, akar modernisme, dan ketiga budaya populer. Ketiga tema sentral ini diuraikan dalam empat bab sehingga mudah untuk pembaca memetakan kerangka toritis Baudrillard tentang posmodernisme.
Dari Miletos Sampai Las Vegas
Miletos adalah salah satu kota di kepulauan Yunani yang sebelumnya kental dengan mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel atau kepercayaan. Pergulatan antara mitos dan filsafat murni dimulai berabad-abad, akhirnya mitos dilawan dengan perkataan Sokrates “kenalilah dirimu sendiri” dan sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiranpun bergulir. Sokrates dengan salah satu muridnya Platon menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam tentang konsep manusia. Menurut Plato, manusia dibagi dalam tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Konsep Plato tentang manusia membawanya pada konsepsi Negara. Pemimpin (analog dengan rasio), prajurit (analog dengan kehendak), petani dan tukang (analog dengan tubuh). Dengan konsepsi seperti ini Plato mempertegas keyakinan subjektifitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (Negara) yang berpijak pada rasio.
Perkembangan pengetahuan khususnya filsafat mengalami dialektika sampai pada satu titik yang memiliki makna bagi kelahiran modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, dan lahirnya Renaisans sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan berfikir abad pertengahan. Menyuarakan semangat pembebasan terhadap dogma agama yang mengakar pada abad pertengahan dengan keyakinan menemukan kebenaran atas kemampuan sendiri. Melepaskan juba agama (kaum gerejawan) dan menelusuri kembali kebudayaan klasik serta mempelajari sastra, serta mengangkat harkat dan martabat manusia. Maka penting renaisans bagi peradaban barat sebagai persemaian benih pencerahan yang menjadi embrio kebudayaan barat.
Embrio ini berkembangbiak menjadi matang ditandai dengan kemunculan pemikir eropa, khusnya Jerman, Imamanuel Kant dan Fredrich Hegel. Melalui dua pemikir ini nilai-nilai modernisme di tancapkan kepada sebuah alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut). Konstruksi kebudayaan moderen kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolute, kemajuan liner, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorfisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakikat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun disisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya pelbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan antara kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali perang dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Pelbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan posmodernisme terhadap modernisme. (Pemikir postmodernisme Jean-Francois Lyotard, Jaques Derrida, Michel Foucault).
Melacak Akar Modernisme dan Posmodernisme
Setidaknya terdapat enam alasan ekses negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan pertanyakan. Pertama, lantaran pandangannya yang dualistik dan membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan lai-lain, telah mengakibatkan objektifitas alam secara berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua, pandangan moderen cenderung objektivistik dan instrumnentalis-positivistik akhirnya jatuh pada pembedaan (refikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme yang dahulunya emansipasi kini justru bersifat mendehumanisasi. Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan meningkatnya tindak kekerasan fisik maupun kesadaran ketersaingan dan pelbagai bentuk depresi mental. Keempat, merebaknya pandangan materialisme, yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi pemuasannya sebagai satu-satunya tujuan. Kelima, berkembangnya materialisme karena moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi.Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang merupakan konsekuensi logis hukum survivel of the fittest Charles Darwin.
Sebaliknya Posmodernisme menawarkan cirri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penungggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori. Karakter yang sering disuarakan posmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi, delegitimasi.
Jean Baudrillard
Dan Kebudayaan Posmodern
Dalam analisa Jean-Francois Lyotard melalui bukunya yang telah menjadi klasik, The Condition Of Postmodern: A Report on Knowledge. Lyotard mencatat beberapa cirri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Sedangkan dalam tinjauan Baudrillard dalam menganalisa kapitalisme lanjut masyarakat dijadikan sebagai tontonan. Berdasarkan saran Marx tentang nilai-guna dan nilai-tukar tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisis kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai symbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta citra oleh perkembangan teknologi dan media masa.
Membaca Film, Televisi dan Iklan
  • Membaca Film
Film adalah salah satu pilar bangunan estetika Posmodern dan media seni lainnya. Film juga memuat dua unsur besar yaitu seni dan sekaligus ideologi, yakni ideologi Posmodernisme. Sebagai komoditas, film postmodern merupakan bagian dari budaya massa dan budaya popular yang disodorkan oleh kapitalisme lanjut. Film adalah tidak semata karya seni, namun juga komoditas barang dagangan yang sama dengan komoditas lainnya, ditujukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
  • Membaca Televisi
Dalam derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal televisi adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatfi dan berpengaruh. Televisi memuat segala karakter dunia posmodernisme: reproduksi, manipulasi, simulasi, simulacra, bujuk-rayu dan hiperealitas, dalam penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Mengutip Bryan S. Turner:
Televisi adalah dunia yang sebenarnya dari kebudayaan postmodern, dengan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tandaa emblematis komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi populerny, tayangan serial yang kosong sebagai pengikat yang menyatukan simulacrum para penontonnya, citra-citra elektronik sebagain sifatnya yang paling dinamis, dan wujud ikatan sosial, media politik tingkat tinggi sebagai formula ideologisnya, aktivitas jual-beli abstrak sebagai dasar rasionalitas pasarnya, sinisme sebagai tanda tanda kebudayanya yang dominan, dan penyebaran jaringan kekuasaan yang saling berhubungan sebagai produknya yang utama.
  • Membaca Iklan
Semakin banyak ia mengonsumsi, semakin tinggi kedudukannya dalam masyrakat konsumen. Iklan adlah dunia retorika citra (rhetoric of the imege), dalam istilah Barthes. Iklan adalah simulasi kehidupan ideal yang menggoda hasrat manusia sehingga selalu mengkunsumsi. Era ini disebutkan Milan Kundera, sebagai kemenangan Imagologi.Dalam era ini iklan telah ikut mendiktekan tema-tema citra-semu: ideal-ideal kecantikan, citra-citra kesuksesan, norma-norma keindahan tubuh, keluarga bahagia, masa depan yang cerah, melalui televise, radio maupun surat kabar. (Illich)

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images