Nasionaliseme Lampu Mati

07:27






























Hampir dua pekan menjelang hari kemerdekaan, kopi Flores yang ana minta dari teman beberapa hari lalu tidak senikmat yang pernah diceritakan oleh kawan ana di sekertariat Makeang “Gitang Community” atau biasa di panggil “Daeng Taba” saat mendiskusikan jenis kopi serta aroma dan rasa. Katanya, jangan bilang anda pecinta dan penikmat kopi sejati kalau belum mampir di kedai “Kapal Api” yang terletak di Pasar Segar. Kawan ini wawasan tentang kopi sangat luas, hampir seluruh daerah Sulawesi Selatan pernah ia kunjungi dan mencicipi kopi yang di sedup secara tradisional. 

Dari observasi kecil-kecilnya itu ia berkesimpulan, kopi yang memiliki rasa yang beda diantara produksi kopi di Sulawesi Selatan yaitu Kopi dari Kabupaten Endrekang tetangga dari kabupaten Toraja yang kata orang produk kopinya tembus ke pasar Nasional dengan sebutan “Kopi Toraja”. Kami diskusi panjang-lebar soal kopi dan para peminum kopi di kalangan anak muda, bukan peminum cap tikus atau sopi. (Silahkan sensor).

Sory netizen tercinta ana intermezo, lagian cairan berwarna hitam itu yang temani ana dan kawan ana di Lonte (Lorong Ternate) beberapa bulan lalu, ana kagum dengan poter pemuda yang mengagumi sesuatu sampai ke akar-akarnya. Seperti Ben terobsesi dengan biji kopi Tiwus bukan Rangga mengagumi Cinta. 

Kawan, biar ana ceritakan sedikit soal kopi Folers yang tidak nikmat, bukan aku sedup dengan air Dispencer bukan pula ana campurkan susu saset putih agar rasa pahitnya berkurang. Tapi, ana rasakan Indonesia saat ini sangat berbeda dengan indoensia yang di bangun oleh Sukarno, tertuma soal spirit perjuangan anak muda sampai pergulatan politik nasional yang secara pribadi membuat ana merasakan keguncangan besar. Proses reshuffle jilid II yang dilakukan Jokowi adalah bentuk dari intervensi politik yang sangat busuk di negeri ini. Apalagi semenjak diumumkan Abang Anies Baswedan di reshuffle dan memasukkan Wiranto dan Sri Muliyani sebagai komposisi menteri jilid II. Membuat hidup ana beberapa bulan ini menjadi murung  dan malas berdiskusi, bukannya ana mengidolakan abang yang satu ini tapi ana kagum dengan gagasan pendidikan yang ditawarkan dan lebih lagi sosoknya yang muda, sangat berenergi. 

Ya, sudahlah, lupakan saja. Diganti atau tidak diganti pun nyatanya biaya kuliah ana tetap ditangggung sama mama lo baba di kampung, yang setiap hari mengais keping rupiah di batang kelapa belantara Halmahera yang harga pasarnya tidak terlalu mahal amat sperti cengkih dan pala. Harga pasaranya pun kadang naik dan kadang turun tak menentu sampai ana melarat di tanah rantau menjadi manusia nomaden karena tak punya uang. Kadang sedih tapi masih bisa makan, dibanding saudara kita yang tergusur akibat pembebasan lahan untuk penanaman kelapa sawit di pulau Sumatra yang ditukarkan lahannya dengan beberapa bingkisan sembako dan tembakau. Akhirnya mereka hidup dalam kepungan lahan kelapa sawit tanpa menyisahkan sedikit lahan untuk digarap bersama demi bertahan hidup bagi aggota keluarga mereka.

Sory, ana curhat. Tapi memang akhir pekan ini buat ana sungguh mengganjal menjelang peringatan 17 Agustus tepatnya momentum kemerdekaan bangsa Indonesia. Enam tahun lalu semenjak beranjak masuk perguruan tinggi ana pernah merasakan eforia memperingati hari kemerdekaan, mulai dari kemah gabungan yang dipelopori oleh organisasi Intra Sekolah (OSIS) bersama teman-teman PRAMUKA, PMR, sampai dengan gerak jalan indah. Waduh, ana jadi ingat masa lalu, maklum masih remaja kala itu suka coba-coba atur strategi dengan alasan buat kemah gabungan agar bisa nembak cewe PMR. Pokoknya keseruannya luar biasa deh…

Tapi keseruan tersebut hanya berujung eforia belaka dan menjadi sebuah ritual bagi pemerintah kita di Indonesia untuk menghegemoni masyarakat dengan meperkarsai berbagai macam serimoni untuk meramaikan hari kemerdekaan. Seperti apa yang dilakukan oleh beberapa warga di depan kamar kosan teman ana di Jln . Alauddin II, semua lorong dibersihkan dan dihias agar menarik dan menunggu petugas penilaian dari pemerintah kota Makassar untuk memberi hadiah bagi yang juara. Sampai-sampai ana dipesankan oleh ibu tetangga agar menyiram bunga yang berada di depan kamar kos tiap pagi. Ana seperti mendapat hadiah emas satu bukit di Halmahera untuk bisa bangun pagi hari. Sepertinya ana pesimsi deh kalu bangun pagi.

Nasionalisme masyarakat kita seakan-akan dilekatkan dengan perayaan 17 Agustus yang menurut ana merupakan sprit semu dari nasionalisme yang sebenarnya, menumbuhkan rasa kecintaan kita terhadap Indonesia bukan hanya sekedar menjadi pasukan pengibar bendera, atau menjadi personil gerak jalan poco-poco, dan kebih ekstrim lagi sebahagian kawan naik Gunung untuk pengibaran bendera. Katanya, kalau mau kenal Indonesia kamu harus lihat dari ketinggian lalu pengibaran bendera merah putih pun menjadi ritual tahunan para pendaki gunung. Ana tidak tau jelas apa motif dasar kawan yang naik gunung, dan turun gunung. Apa mungkin, terinspirasi dengan film 5 centimeter yang aktornya cakep-cakep lalu meniru dan mendaki bersama gebetan. Lalu sebahagian kawan berubah menjadi monster perusak alam dan menjadi pendaki amatiran. Saya kira semuanya Bulset.  

Lalu apa arti nasionalisme ?. Nasionalisme sendiri merupakan gairah perjuangan untuk melawan segala bentuk ketidakadilan. Lebih jau lagi ana menafsirkan bahwa semangat nasionalisme harus diterjemahkan dalam bentuk perjuangan politik yang lebih luas bukan menjadikan nasionalisme sebagai tujuan politik. Olehnya, perlu kita sadar diri di mana bentuk  real dari nasinalisme, pernahkah kita bersama-sama dengan wagra Gane untuk tolak pembebasan lahan, atau sekedar membuat kampanye kecil-kecilan soal bahaya limbah NHM (Nusa Halmahera Minerals). Ana rasa sangat parsial konsepsi kita tentang nasionealisme. 

Dengan momentum hari kemerdekaan ini perlunya sebuah refleksi yang mendalam bagi pemerintah dan masyarakat kita pada umunya, terkhusunya pada kaum muda yang penuh dengan gelora konsepsi-konsepsi perubahan. Hari ini, sebelum tulisan ini ana selesaikan ana sempat browsing laman dari Malut Post, ana temukan sebuah berita pendek dari Malifut. Judulnya “Warga Malifut Belum Merdeka Soal Listrik”, isi dari berita tersebut katanya usia kemerdekan Indonesia sudah 71 tahun tapi malifut belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, perkaranya adalah Listrik yang pelayanannya belum 24 jam masih pada malam hari itu pun masih sering padam.
Akhir tulisan ini, ana hanya ingin berbagi keresahan kepada kawan-kawan bahwa tidak perlu melakukan sesuatu yang terlihat popiler karena sesuatu yang popiler adalah watak manusia kontemporer yang suka menggampangkan sesuatu. Rasa nasionalisme kita harus di manifestasikan pada perjuangan apalagi ini adalah soal kepentingan bersama masyarakat kita. Untuk kawan-kawan yang masih di tanah Daeng ada sebuah cerita dari Bapak Marx.

Pada tahun 1870, Karl Marx menulis surat bernada kecemasan kepada Friedrich Engels, ketika revolusi di Eropa terjadi dimana-mana. Dalam suratnya Marx menyatakan, “Tapi tunggu dulu! Saya belum menyelesaikan Capital. Tak bisakah mereka menunggu?” Moral dari cerita ini adalah, dari setumpuk pengalaman politik yang kita lihat dan alami, mungkin penting bagi kita kini untuk memberikan lebih banyak waktu pada teori, lebih banyak waktu untuk berpikir.


You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images