PILKADA Malut Mendulang Pemimpin Pro Rakyat atau Kuasa dan Koruptor
02:15
Demokrasi adalah bentuk ideal, bagi keberlangsungan politik pada
era reformasi saat ini. Demokrasi diartikan sebagai bentuk sirkulasi atau
sistem politik untuk mendulang pemimpin yang mewakili rakyat, ia yang dicintai
dan dipercaya sebagai pembawa amanat rakyat demi kesejahteraan dan kemakmuran.
Pada dasarnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat bukan
justru berada pada penguasa atau kekuasaan.
Melawan lupa
Berbeda dengan sirkulasi politik yang terjadi di Propinsi Maluku
Utara, pengalaman pahit pada Pemilukada tahun 2006 lalu, sejumlah aktor politik
busuk, mencedrai praktek demokrasi. Alih-alih saling klaim kebenaran para
kelompok kepentingan sehingga mobilisasi masa dan konflik tak bisa terhindarkan
demi mempertahankan kekuasaan. Sengketa Pemilukada tarpanjang dan cukup besar
membuang cos politik sepanjang sejarah Pilkada di Indonesia. Kedua pasangan
yang bersengketa yakni Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba dan Abdul
Gafur-Abdurrahim Fabanyo. Sengketa Pilkada ini berakhir pada keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dimenangkan oleh pasangan Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba.
Siapa mengira bahwa ternyata, Drs. Thaib Armain yang terpilih
sebagai Gubernur Maluku Utara tersandung kasus korupsi terkait penggunaan pos
anggaran dana tak terduga (DTT) senilai Rp 6,9 miliar pada Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah tahun 2004. Total dari proyek DTT tersebut diperkirakan senilai
Rp 24 miliar (VIVAnews), kekuasaannya pun tak bisa dipungkiri hampir
sebagian besar pembagian jabatan berdasarkan like to like tidak berdasarkan
pada profesionalitas seseorang. Kekuasaan yang menggurita sangat berdampak
mendorongnya sistem otoritarianisme atau premanisme birokrasi.
Mendulang Pemimpin Pro Rakyat
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, yang telah
berlangsung pada tanggal 1 juli 2013 itu diikuti oleh enam pasangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur sesuai dengan putusan KPUD Malut. Keenam pasangan
tersebut yakni Ahmad Hidayat Mus-Hasan Doa (AHM-DOA) didukung oleh Golkar, PPP,
Hanura, PKPB, PDS dan sejumlah partai kecil lainnya, Namto Huiroba-Ismail
Arifin (NHR-IA), Abdul Gani Kasuba-Natsir Thaib (AGK-MANTHAB) didukung oleh
PKS, Republikan, PDK, PKB, PPRN dan PKPI, Muhadjir Albaar-Sahrin Hamid
(MUHADJIR-SAHRIN) didukung oleh PAN, Demokrat dan PBB, Syamsir Andili-Benni
Laos (Syamsir-Benni) didukung oleh GERINDRA dan koalisi 17 partai nonparlemen
dan Hein Namotemo-Malik Ibrahim (Hein-Malik) dari pasangan independen.
Pemilihan tersebut berakhir masuk putaran kedua sesuai dengan keputusan KPUD
Malut. Yang berhak masuk pada putaran kedua yakni pasangan Ahmad Hidayat
Mus-Hasan Doa (AHM-DOA) dengan jumlah perolehan163.684 suara atau 28,50% dan
Abdul Gani Kasuba-Natsir Thaib (AGK-MANTHAB) memperoleh 163.684 suara atau
28,50% (sumber KPUD Malut).
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, KPUD Malut
mengagendakan pada tanggal 31 oktober 2013 mendatang diikuti oleh dua pasangan
calon yakni Ahmad Hidayat Mus-Hasan Doa (AHM-DOA) dan Abdul Gani
Kasuba-Natsir Thaib (AGK-MANTHAB). Kedua pasangan ini masing-masing memiliki
kiprah rekam jejak yang tidak diragukan. Dalam tulisan ini penulis tidak
bermasud menyudutkan masing-masing pasangan calon, namun masyarakat Malut sudah
cukup mengenal kedok dan siapa sebenarnya mereka.
Akhir-akhir ini, parah aktor politik sudah mulai mengepung dan
menghipnotis pikiran kritis rakyat Maluku Utara diberbagai media maupun melalui
kampanye-kampanye politik mereka. Demokrasi hanya menjadi slogan para aktor,
namun dibalik itu rakyat tidak diberi kebebasan secara sadar memilih siapa
idola mereka tanpa tendensi dan intervensi dalam bentuk apapun. Maraknya,
transaksi kepentingan kelompok, transaksi uang, memboyong kekuasaan di tingkat
kabupaten untuk menekan rakyat memilih. Cara kotor ini sungguh telah mencedrai
praktek demokrasi di Indonesia.
Belum lagi kesadaran mayoritas pemilih masih jauh dari
golongan pemilih partisipan, rakyat tidak diberi pendidikan politik
yang santun dan bersih justru mengajarkan bagaimana rakyat pragmatis, pasif,
dan instan. Meminjam istilah Machiavelli menghalalkan segala cara adalah cara
tepat berkuasa. Jika paradigma aktor politik dan kelompok kepentingan masih
menggunakan cara tersebut maka Pilkada Maluku Utara hanya akan melahirkan kuasa
dan koruptor baru. Kini kita jangan terjebak dengan anomali para
aktor politik yang menggunakan cara-cara kotor dalam menampilkan cara mereka
berpolitik. Belum lagi, ada dari sekian calon yang berstatus tersangka. Potret
ini mestinya, rakyat tidak mudah ditawarkan dengan uang semata. Jika kesadaran
terus dipasung sedemikian rupa, pihak supremasi hukum tidak tegas tindak,
politik semata-mata karena uang, konspirasi kepentingan diboyong sebagai cara
yang sah. Maka jangan harap Pilkada kali ini adalah momentum lahirnya pemimpim
yang arif, bijak dan mencintai rakyatnya.
Bahwa betapa tidak Pilkada kali ini sangat rawan melahirkan
penguasa-penguasa baru yang jauh lebih berkuasa ketimbang Firaun, Lenin, Hitler
dan deretan penguasa dunia lainnya. Hal ini tampak pada proses konsolidasi,
rekrutmen dan sosialisasi yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Meminjam
bahasa Dante, “Kebenaran dan logika tidak lagi menjadi ukuran, jika rasa
keserakahan, gila kuasa serta nilai-nilai kejahatan telah terpatri dalam diri
manusia. Ketamakan telah menghilangkan daya dan nalar demi kekuasaan belaka”.
Rupanya, sangat sulit bagi rakyat kita jika tidak dilakukan
pendampingan untuk memberikan pendidikan politik upaya mendulang Gubernur yang
pro rakyat di Propinsi Maluku Utara. Tentunya, harus ada penyatuan para
kelompok intektual revolusioner yang jujur bicara dan memilih. Tidak untuk
diperbudak dan menghambah pada sekedar uang yang justru ditindas selama lima
tahun kedepan. Semoga***.
Oleh :
Fahmi Musa
Presiden Hipma-Halut Makassar Periode 2013-2014
Mahasiswa Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Makassar
0 comments