Sewaktu aku masi duduk di bangku SMA aku tergolong siswa yang suka dengan koleksi buku, walaupun di tempat asalku masih minim pasokan buku bacaan untuk anak setingkat sekolah menengah. Tidak seperti pelajar umum di kota-kota besar, penyedian buku di tokoh buku sangat banyak dan perpustakaan bertebaran dimana-mana baik perputakan sekolah sampai perpustakan wilayah. Di lingkungan sekolahku perpustakaan sekolah saja hanya menyediakan buku-buku teks pelajaran, tidak ada satupun buku yang bisa dijadikan bahan bacaan untuk porsi seorang remaja saat itu. Kebetulan aku masuk di jurusan IPA selalu di perhadapkan dengan hitungan analitik, sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan hitungan namun karena saat itu seluruh siswa beranggapan bahwa yang masuk ke jurusan IPA adalah siswa yang pintar dengan hitungan dan terlihat populer kalau masuk jurusan IPA.
Selama tiga tahun lamanya aku di bangku SMA khusunya di jurusan IPA hanya mata pelajaran Biologi yang ku senangi yang lainnya hanya partisipan, kebanyak anak IPA beranggapan bahwa diri merekalah yang paling pintar di sekolah, siswa yang jurusan IPS selalu dianggap tidak populer dan bodoh ketimbang mereka. Akupun ikut-ikutan menjastis mereka sampai-sampai arogansi ini berkelanjutan dengan pertarungan politik sekolah, perebutan takhta ketua osis